Karanganyar, Gatra.com- Penggunaan bahan ramah lingkungan untuk perabot rumah tangga makin diminati. Salah satunya sedotan berbahan non plastik yang merambah pasar mancanegara.
Pemilik usaha kerajinan asal Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, Joko Prayitno mengatakan usahanya makin menggeliat seiring gencarnya gerakan go green. Alternatif bahan non plastik untuk peralatan sehari-hari diminati pasar ekspor. Yitno, demikian ia akrab disapa, menyebut sejumlah negara maju telah melarang penggunaan plastik guna menekan produksi limbah tak terurai. Seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Inggris, Prancis dan Belanda.
"Masyarakat makin sadar untuk ramah lingkungan. Itu sangat membantu perajin. Akhirnya sudah menembus pasaran ekspor. Di dalam negeri, permintaan dari Bali cukup tinggi. Itu membuka gerbang pasaran lebih luas. Orderan yang saya layani dari Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan dan merambah ke Timur Tengah," katanya kepada Gatra.com di kediamannya, Kamis (9/1/2020).
Sedotan bambu yang diproduksinya panjang 22 cm, 20 cm, 15 cm dan 12 cm. Sedangkan diameternya 0,5 cm , 0,8 cm dan 1,4 cm. Tiap hari, ia bisa memproduksi hingga 70 ribu batang.
Standardisasi higienis untuk peralatan makan dipenuhinya tanpa terjamah bahan sintetis. Yakni merebusnya di larutan sirih serta menggunakan cuka agar menjaga bahan tetap berwarna cerah.
"Standar higienis diterapkan sebelum ekspor. Kami pakai cara alami. Tanpa bahan kimiawi (mungkin maksudnya tanpa bahan kimia berbahaya). Kalau dengan cara kimia, malah berisiko mengganggu kesehatan," katanya.
Selain memproduksi sedotan, ia juga membuat kerajinan lain yang diminati mancanegara seperti nawala (undangan dari bambu/gulung). Nawala dibuat dari sisa bahan. "Karena diameternya besar sekitar 5 cm, maka dibuat benda lain. Bisa untuk tempat undangan, juga bisa tempat menyimpan sedotan atau alat tulis," katanya.
Per batang sedotan berbagai ukuran dijualnya Rp750. Yitno mengawali produksi ini dari berbagai percobaan mengkreasi bambu menjadi mainan anak-anak. "Awalnya membuat mainan, sumpit dan peluit. Lalu melihat ada sedotan bambu di NTT, lalu mencoba membuat sendiri," katanya.
Sedotan bambu ini bisa dipakai berulang kali, namun tidak selamanya. Bahan tersebut mudah ditumbuhi jamur dan berbubuk. "Biasanya dipakai 5 kali lalu buang di Indonesia. Tapi kalau di luar negeri seperti Korea Selatan, sekali pakai," katanya.
Sejauh ini, bahan baku didapatkannya dari pemilik kebun bambu di Gunung Kidul, Karanganyar, Kebumen dan sebagainya. "Masih mengandalkan pohon bambu yang tumbuh liar. Persoalannya belum ada budidaya bambu oleh petani," katanya.