Tegal, Gatra.com - Laju inflasi di kabupaten dan kota di wilayah eks Karesidenan Pekalongan, Jawa Tengah sepanjang 2019 relatif terkendali. Pada 2020, perlu diwaspadai pengaruh cuaca dalam memicu gejolak harga komoditas penyumbang inflasi.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Tegal Muhammad Taufik Amrozy mengatakan, hingga akhir 2019, tingkat inflasi di wilayah eks Karesidenan tergolong rendah.
"Kalau dirata-rata beberapa tahun terakhir termasuk rendah. Biasanya inflasi di pantura itu relatif tinggi, rata-rata masih di atas 4 persen," kata Taufik kepada Gatra.com, Rabu (8/1).
Berdasarkan data BI Tegal, inflasi di Kota Tegal sebagai kota sampel pada Desember 2019 sebesar 0,37% month to month (mtm), 2,56% year on year (yoy), dan 2,56% year to date (ytd). Tingkat inflasi ini lebih rendah dari tingkat inflasi Jawa Tengah yang mencapai 0,45 % mtm, 2,81 % yoy, dan 2,81 % ytd.
Sejumlah komoditas penyumbang inflasi pada Desember 2019 yakni telur ayam ras, bawang merah, cabai merah, dan cat tembok. Sedangkan komoditas penahan inflasi meliputi apel, daging ayam ras, telepon seluler, dan salak.
Taufik mengemukakan, relatif rendahnya tingkat inflasi tersebut tak lepas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di tiap daerah dalam menjaga harga dan pasokan komoditas bahan pokok yang menjadi penyumbang inflasi terbesar.
"Semua yang terkait faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi terutama pasokan itu relatif aman sehingga tidak diperlukan upaya ekstra," ujar Taufik.
Adapun di 2020, Taufik menyebut perlunya mewaspadai dua faktor yang bisa memicu kenaikan inflasi. Pertama, pengaruh cuaca terhadap molornya musim tanam bawang merah yang merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi.
"Pengaruh cuaca, terjadi pergeseran musim tanam. Seharusnya September sudah mulai tanam, tapi masa tanam tahun ini baru dimulai akhir November. Kalau siklus normal mestinya Desember sudah panen. Sehingga tidak memicu tekanan harga," jelasnya.
Musim kemarau yang berkepanjangan juga membuat petani enggan untuk menanam karena mempertimbangkan biaya produksi yang membengkak. Hal ini menyebabkan kelangkaan pasokan sehingga harga naik.
"Cuaca ekstrem juga bisa menggangu hasil produksi dan jalur produksi karena di beberapa titik terjadi banjir," ujar Taufik.
Faktor kedua yang perlu diantisipasi, lanjut Taufik yakni kemungkinan munculnya tekanan inflasi dari komponen administered price atau harga yang diatur pemerintah yakni kenaikan cukai rokok, dan harga BBM.
"Jadi diperlukan upaya ekstra pada tahun ini bersama kepala daerah dan unsur TPID. Perlu langkah-langkah untuk mengantisipasi gejolak harga," ucap Taufik.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tegal, angka inflasi secara year on year pada 2015 tercatat 3,95%, 2016 (2,71%), 2017 (4,03%), dan 2018 (3,08%).