Jakarta, Gatra.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan bakal membahas status dan keuangan pegawai lembaga antirasuah itu. Firli menambahkan, pihaknya sudah bertemu Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk membahas gaji pegawai KPK.
Firli menyatakan, pembahasan itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) nomor 91 tahun 2019 tentang organ pelaksana Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Senin (6/1).
"Dewan pengawas itu sudah ada (Perpres-nya), itu sudah di tandatangani dan itu sudah dibahas bersama. Oke, ke depan kita akan bicara bagaimana status pegawai, hak keuangan pegawai. Makanya saya datang ke Menkeu itu dalam rangka itu," kata Firli saat ditemui di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (7/1).
Firli menyebut pembahasan soal Perpres KPK itu bakal melibatkan banyak pihak jika memang sudah ada instruksi dari Jokowi.
"Semua akan diajak bicara kalau sudah pembahasan. (Sekarang) belum ada pembahasan itu, izin prakarsanya aja belum ada gimana mau dibahas," tukas dia.
Sebelumnya, Jokowi telah meneken Perpres nomor 91 tahun 2019 tentang organ pelaksana Dewan Pengawas KPK. Perpres yang merupakan turunan dari UU nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itu telah dinantikan oleh lembaga antirasuah.
Hal tersebut dikarenakan dalam menjalankan tugasnya, termasuk memberikan atau tidak memberikan izin kepada KPK untuk menyadap, menggeledah dan menyita, Dewas membutuhkan organ pelaksana diatur melalui Perpres.
Pemerintah memang berencana menerbitkan tiga Perpres KPK. Ketiganya mengatur perkara Dewan Pengawas, organisasi KPK, dan perubahan status kepegawaian dari karyawan KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Namun, draf itu langsung jadi sasaran kritik. Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyoroti salah satu pasal dalam draf Perpres tentang organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK.
Pasal 1 Bab 1 draf menyatakan bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang bertangggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara.
"Alih-alih memenuhi harapan publik untuk menguatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang), saat ini justru presiden malah berencana mengeluarkan perpres yang menjadikan KPK di bawah presiden dan setara kementerian," kata aktivis TII Wawan Suyatmiko kepada wartawan, Selasa (31/12/2019).
Menurut Wawan, dengan menempatkan KPK setara kementerian dan bertanggung jawab pada presiden secara langsung justru menjauhi semangat pembentukan KPK sejak awal. Ia menilai hal itu justru rawan dengan konflik kepentingan.
Hal itu juga dianggap tak sesuai dengan mandat United Nations Convention against Corruption (UNCAC)/Konvensi PBB Antikorupsi, The Jakarta Principles, dan Colombo Commentary. Bahkan, jadi sebuah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.
Apalagi, pasal 1 dalam draf perpres tersebut justru terkesan kalau presiden mau menempatkan KPK di bawah kendalinya. Padahal, dalam UUD 1945, kedudukan presiden sebagai kepala negara terbatas, sementara selebihnya sebagai kepala pemerintahan.
Wawan pun meragukan kalau pemberantasan korupsi akan berjalan maksimal, apalagi saat ini KPK justru terus dilemahkan. Ia juga menyarankan agar saat ini publik mulai mengalihkan harapan pemberantasan korupsi kepada Presiden Joko Widodo menjadi sebuah gerakan kritik.
"Publik juga harus selalu mengawasi kinerja Presiden Jokowi dan KPK di bawah pimpinan barunya, Firli Bahuri, dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wawan.