Solo, Gatra.com - Penyandang tunanetra kini dapat melihat kondisi di sekelilingnya secara virtual melalui So-Li Sense 3D Mapping and Artificial Intelligence Combination based Assistive Technology for Blind People. Alat bantu penyandang tuna netra tersebut dikembangkan sejumlah mahasiswa dari Program Studi Teknik Informatika dan Komputer (PTIK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
"Kami berpikir di masa modern ini, dengan segala akses teknologi canggih yang dapat diakses oleh orang normal, seharusnya juga tersedia teknologi canggih untuk mencukupi kebutuhan mobilitas tunanetra. Maka, kami berinisiatif untuk membuat teknologi asistif yang inovatif dengan memanfaatkan teknologi terkini seperti 3D mapping dan kecerdasan buatan," kata Andreas Wegiq, salah satu mahasiswa yang mengembangkan So-Li Sense kepada Gatra.com, Selasa (7/1).
Rekan lainnya adalah Ragil Setiawan, Adimas Agustinus, Muhammad Afriansyah dan Calvin Gibran. Menurut Andreas, alat bantu penyandang tunanetra yang dimanfaatkan saat ini seperti tongkat putih, memiliki risiko tinggi. Sebab, masih bersifat manual dan mengandalkan insting pengguna. Sedangkan teknologi yang dikembangkannya itu selaku asisten digital (AD) pribadi untuk memandu pengguna menghindari penghalang di depannya. AD akan memberikan informasi melalui suara secara realtime. Informasi itu seperti lokasi dan jarak benda atau penghalang di depan tunanenetra.
"Berkat informasi tersebut, tentu harapannya tunanetra akan dapat menghindari penghalang di depannya ketika berjalan. Dengan menggunakan teknologi 3D Mapping maka SO-LI Sense akan melakukan pemetaan secara 360 derajat di sekitar tunanetra. Begitu di depan tunanetra ada penghalang pada jarak tertentu, maka AD akan langsung menginformasikan lokasi penghalang. Selain itu, pengguna juga dapat berkomunikasi dengan AD melalui mikrofon yang sudah disediakan dalam SO-LI Sense," katanya.
Pengguna dapat memerintahkan AD mengganti mode. Ada dua mode yang saat ini dikembangkan, yaitu mode navigasi dan mode mapping. Mode navigasi ditujukan untuk kegiatan yang fokus pada deteksi penghalang di depan. Sedangkan mode mapping fokus pada pemberian informasi lokasi objek di sekeliling pengguna, sehingga pengguna dapat mengetahui obyek apa saja yang ada di sekelilingnya.
Untuk membuat prototipe So-Li Sense dibutuhkan helm motor dengan modifikasi bentuk dan menanamkan depth sensor, 360 degree Light Detection and Ranging (Lidar) sensor, dan camera sensor.
"Ongkos membuat alat ini masih terbilang sangat mahal, yaitu sekitar Rp6 juta. Karena ada beberapa komponen yang langka dijual di Indonesia sehingga kami harus membelinya dengan harga mahal saat itu, namun jika membeli komponen dari luar negeri nilai rupiah dapat ditekan hingga Rp2 juta saja," katanya.
Inovasi dari para mahasiswa UNS ini meraih penghargaan prestisius seperti Bronze Prize dari Seoul International Invention Fair 2019 dan Special Award for Innovation dari University King Abdulaziz.
Dosen pembimbing para mahasiswa itu dari PTIK UNS, Dwi Maryono mengatakan butuh uji coba So-Li sense ke berbagai kondisi penyandang tunanetra untuk menyempurnakannya.
"Ini masih prototipe. Belum bentuk fix. Butuh teknologi kompleks untuk menyempurnakannya," katanya.
Diceritakannya, teknologi itu dikembangkannya bersama para mahasiswa PTIK di awal 2019. Berbekal konsep itu, mereka mengikuti seleksi dan evaluasi akhir timnas di Bali oleh Dikti. Namun tak lolos.
"Justru saat mengikuti eksibisi ekspo inovasi peralatan teknologi di Korea Selatan, malah mendapat juara," katanya.