Pekanbaru, Gatra.com - Pengumuman kalau kemarau panjang bakal lebih lama terjadi di Riau dan Provinsi lainnya baru beberapa hari lalu didapat lelaki 57 tahun ini. Itupun dari hasil dia yang saban hari melongok internet di ponsel pintarnya.
Gara-gara pengumuman itu pula, ayah satu anak ini bergegas menyiapkan peralatan yang bisa dipakai untuk upaya pemadaman kebakaran. Seonggok mesin robin dan setumpuk selang sudah nangkring di samping rumahnya berkonstruksi papan di kawasan Desa Alim Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Senin (6/1).
"Buat jaga-jaga, nanti dibilang pula petani sawit yang jadi penyebab kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)," ujar petinggi adat Desa Alim ini. Air mukanya nampak serius. Sebentar jemarinya menggesek-gesek ponsel pintarnya walaupun dengan signal yang terbatas.
"Aku mau nanya ini, kenapa kalau karhutla di luar negeri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak ada yang bekoar-koar ya? Tapi kalau karhutla terjadi di negara kita, LSM langsung teriak-teriak. Perusahaan dan petani sawit langsung jadi tertuduh. Tengoklah ini kebakaran di Australia. Tak ada LSM yang teriak-teriak," katanya sambil menyodorkan gambar kawasan hutan terbakar di negara yang dia sebut itu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung memaklumi apa yang dibilang Hendri tadi.
Auditor Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) ini tak menampik kalau belakangan sejumlah LSM baik dalam maupun luar negeri langsung bekoar tak sedap. Isu yang langsung dihembuskan LSM tadi adalah bahwa karhutla terjadi lantaran deforestrasi, penggundulan lahan gambut dan munculnya perkebunan kelapa sawit.
"Sakit sebenarnya dituduh seperti itu tanpa data akurat. Terus kalau kebakaran di Australia dan sejumlah negara di Eropa, apakah oleh sawit juga? Di mana Non Government Organization (NGO) ketika kebakaran di sejumlah negara itu terjadi?" kata Gulat kepada Gatra.com melalui sambangun telepon Senin (6/1).
Padahal kata Gulat luas lahan yang terbakar di Indonesia itu enggak seberapa dibanding luas lahan yang terbakar di Australia dan sejumlah negara Eropa tadi.
"Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2019, karhutla di Indonesia dari Januari hingga September hanya sekitar 857.756 hektar. Sekitar 630.451 hektar atau sekitar 73,50 persen lahan mineral, sisanya yang sekitar 26,50 persen adalah gambut. Ini data lho, bukan hoax. Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa selama ini selalu diributkan bahwa gambut sebagai sumber utama kebakaran?" Gulat bertanya.
Gulat kemudian menyodorkan data kebakaran Australia. Dari November 2019 tercatat luas hutan dan lahan yang terbakar di New South Wales, Victoria dan Australia Selatan sudah mencapai 12,3 juta hektar, 24 nyawa melayang dan hampir 2.000 rumah hancur dan ludes terbakar.
Habitat hewan liar asli Australia seperti kanguru, koala, burung, reptil mati akibat kebakaran hutan itu. Jumlah hewan yang jadi korban diperkirakan mencapai 480 juta, termasuk 8 ribu ekor koala. "Apakah kebakaran ini gara-gara sawit atau gambut juga? Saya mempertanyakan ini kepada NGO yang selama ini mengocehi Indonesia," tegas Gulat.
Menurut Gulat, bahwa sesungguhnya karhutla dan perubahan iklim sudah menjadi konsumsi politik 10 tahun belakangan. "Tapi perubahan iklim yang ekstrim lah sebenarnya yang menjadi musabab bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak terkecuali di negara-negara makmur dan berteknologi canggih. Jadi jangan lagi sembarangan menuding Indonesia dengan issu deforestasi ketika karhutla terjadi," kata kandidat Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.
Karhutla di Australia kata Gulat baru berlangsung tiga bulan, tapi sudah melepaskan sekitar 350 juta metrik ton karbon dioksida. Para ahli mengingatkan butuh waktu lebih dari satu abad untuk menyerap karbon dioksida yang lepas tadi. "Lagi-lagi siapa yang harus disalahkan?" katanya.
Untuk memadamkan kebakaran tadi, berbagai upaya sudah dilakukan. Peralatan super canggih, rekayasa hujan, biaya jutaan dolar dan tenaga manusia sudah dikerahkan untuk memadamkan api di Australia. Tapi api malah semakin membara.
"Ujung-ujungnya mereka sama saja seperti kita, berusaha memanjatkan doa dan harapan akan kebaikan Tuhan untuk menurunkan hujan memadamkan api itu," ujar Gulat.
Jadi kata Gulat, dari data dan fakta tadi, kebakaran hutan dan kebun sawit itu hanya korban dari ektrimnya iklim, seperti kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negara-negara. "Tak usah langsung menghukum sawit, gambut, apalagi mempidanakan petani dan Korporasi," pinta Gulat serius.
Meski menjadi korban ekstrimnya iklim, Pemerintah Indonesia, masyarakat dan pelaku usaha yang bersentuhan dengan alam sudah lebih jeli dalam menghadapi potensi munculnya karhutla 2020.
"Inilah kelebihan Indonesia khususnya di Riau. "Saat ini semua aparat pemerintah, kepolisian, TNI, dan aparat hukum lainnya sudah membangun kolaborasi untuk antisipasi dini karhutla.
"Apkasindo sangat mengapresiasi itu semua. Di Riau misalnya, semua elemen petani dan korporasi sudah melakukan koordinasi intensif dan membikin simulasi berdasarkan tingkat kerawanan karhutla. Ini langsung dipimpin Kapolda Riau. Saya rasa ini bisa menjadi contoh untuk provinsi lain, khususnya yang mengalami karhutla tahun lalu," kata Gulat.