Home Gaya Hidup Mengenal Legenda Lunpia Semarang Dari Jaman ke Jaman

Mengenal Legenda Lunpia Semarang Dari Jaman ke Jaman

Semarang, Gatra.com - Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah kaya akan ragam kuliner legendaris. Kuliner itu masih ada, tak termakan oleh jaman. Justru makin eksis sesusi perkembangan dari generasi ke generasi.

Salah satunya adalah lumpia atau juga disebut lunpia, sebuah penganan tradisional yang terbuat dari bahan dasar campuran rebung, telur, sayuran segar, daging, dan makanan laut. Kemudian digulung dalam adonan tepung gandum sebagai kulit pembungkusnya.

Kuliner itu masih menjadi magnet utama diburu sebagai oleh-oleh para masyrakat lokal Semarang atau wisatawan yang singgah di Kota Atlas. Terutama para wisatawan luar kota yang wajib untuk buah tangan dibawa pulang ke daerah asalnya.

Mendapatkan lunpia pun tak akan sulit, pada tiap ruas jalan di Kota Semarang akan mudah untuk diburu atau cukup mendatangi pusat kuliner. Dipastikan kuliner peranakan itu lebih mudah pula untuk didapatkan.

Namun, tahukan Anda, untuk menikmati lezatnya lunpia asli Semarang yang langsung dari pewarisnya ? pastinya tak mau terlewatkan, apalagi sudah jauh-jauh datang ke Semarang tapi hanya sebatas menikmati lunpia kebanyakan yang ada. Bukan dari olahan langsung sang pewaris maestro lunpia asli Semarang.

Perkembangan sejarah lunpia di Semarang tak bisa lepas dari peranan pasangan suami istri Tionghoa - Jawa, Tjoa Thay Yoe dan Mbok Wasi yang pada awalnya sebagai penjual lunpia keliling di pelosok gang-gang Kota Semarang. Mereka berdua merupakan penjual lunpia dengan ciri khasnya masing-masing.

Kepada Gatra Jateng, pewaris lunpia Semarang generasi kelima Meilani Sugiarto atau kerap disapa Cik Meme menceritakan, awalnya sang moyang Tjoa Thay Yoe yang asli Cina dari Provinsi Fu Kien datang ke Semarang sekitar tahun 1800. Dia memulai membuka usaha dagang makanan khas China, sejenis martabak berisi rebung dan dicampur daging babi yang digulung dengan rasa asin. Jualannya laris manis digemari masyrakat keturunan Tionghoa dan Semarang.

Di saat bersamaan, Mbok Wasi pedagang asli Semarang menjual mirip martabak milik Tjoa Thay Yoe, bedanya martabak Mbok Wasih diisi dengan campuran daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis.

“Keduanya berdagang keliling dari gang ke gang di Kota Semarang tahun 1850 an, walau bersaing dalam berdagang tapi secara sehat,” kata Cik Meme.

Hingga akhirnya, tahun 1870 kedua pedagang itu menikah, mereka lalu menciptakan jajanan khas Semarang menggabungkan akulturasi budaya antara Tionghoa dan Jawa pada racikan lunpianya. Menghilangkan isian daging babi dengan daging ayam dan telur.

“Ada perpaduan yang awalnya hanya berisi potongan rebung kemudian ditambahkan juga telur ayam serta bumbu rempah lainnya agar rasanya semakin nikmat. Hingga terciptalah lunpia dengan rasa istimewa khas Semarang yang memadukan rasa gurih, asin, dan manis,” katanya.

Sepeninggal Tjoa Thay Joe, resep lunpia khas Semarang diwariskan kepada putranya yaitu Siem Gwan Sing sebagai generasi kedua yang menikah dengan Tjoa Po Nio pada tahun 1930. Lunpia mulai menjadi primadona pada saat itu, baik oleh para kolonial Belanda maupun penduduk pribumi.

Lunpia kembali diturunkan ke generasi ketiga, yakni tiga anak dari generasi kedua (Siem Gwan Sing & Tjoa Po Nio). Ketiganya yang saat ini masih eksis seperti Siem Swie Nie, yang lebih dikenal dengan nama Lunpia Mbak Lien, ada di Jalan Pemuda Semarang.

Lalu ada anak kedua Siem Swie Kiem, dengan lumpia yang dijualnya di Gang Lombok (Pecinan) atau Lunpia gang Lombok. Dan anak ketiga Siem Hwa Nio dikenal dengan Lunpia Mataram. Ketiganya masih eksis hingga sekarang di lokasi masing-masing.

Cik Meme sendiri sebagai generasi kelima dari ayahnya, Tan Yok Tjay, dari generasi keempat. Tan Yok Tjay dikenal julukan sebagai master chef lunpia Mataram karena dedikasinya melanjutkan perjuangan keluarganya untuk melestarikan lunpia.

Lunpia Cik Meme sendiri beralamat di Jalan Gajahmada Nomor 107 Semarang, gerai tokonya sekaligus kafe selalu ramai pengunjung. Pengunjung bisa menikmati sembari nongkrong atau bisa juga take away dibawa pulang untuk dinikmati di rumah maupun dalam perjalanan.

Sebagai tips tambahan untuk menikmati lunpia baik jenis basah dan kering, harus diperhatikan masa ketahanannya. Bagi yang take away atau dibawa pulang, lunpia basah memiliki daya tahan kekuatan 8 jam dari diterima. Terutama bagi wisatwan yang berkendaraan saat dalam perjalanan.

“Kalau mau bagus ya suhu jangan panas. Perjalanan di mobil ya dekatin AC, jika sampai tujuan sebelum 8 jam langsung masukan freezer. Bisa satu Minggu sampai satu bulan tahan,” jelas Cik Meme.

Untuk lunpia basah saat sampai tiba ditujuan, Cik Meme menyarankan agar lunpia basah bisa dikeluarkan lebih dulu untuk menyesuaikan suhu ruangan dengan cara dianginkan selama lima menit.

“Lalu bisa dikukus kembali atau jika ingin digoreng, gunakan minyak goreng sedikit menggunakan wajan teflon,” katanya.

Untuk menikmati lunpia, pilihannya bisa dipotong-potong lalu dicocolkan dengan bumbu saus dan daun bawang mirip kudapan.

Kenapa harus dengan daun bawang, Cik Meme menerangkan dari cerita para buyutnya, jika dahulu saat lunpia dijadikan kudapan sebagai teman perjalanan. Daun bawang berfungsi untuk menghangatkan badan ditengah perjalanan yang kadang dingin dan banyak angin.

“Daun bawang sejak dahulu, cerita buyut itu untuk penghangat badan jadi untuk mencegah masuk angin, selain menambah kenikmatan. Jadi dulu saat perjalanan sambil makan lumpia sambil gigit -gigit daun bawang, dan itu mencegah masuk angin. Selain itu juga buat netralisir minyak dan kolesterol. Makan dari bonggolnya dulu lalu sampai ujung daun bawang,” katanya.

1907