Bantul, Gatra.com - Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengakui baru belajar cara membangun desa. Desa Pangguharjo, Sewon, Bantul dinilai tepat menjadi contoh desa yang berhasil maju.
Hal ini dinyatakan Halim saat menutup program ‘Sanggar Inovasi Desa’ yang diselenggarakan di Kampoeng Mataraman, unit usaha Panggungharjo, di Bantul, Minggu (5/1) pagi. Program ini berupa pelatihan untuk 20 pemuda dari 13 kabupaten di Indonesia dalam bidang manajemen aparatur desa, kewirausahaan desa, dan pendayagunaan potensi desa.
“Saya datang ke sini untuk belajar ke Desa Panggungharjo tentang bagaimana caranya membangun desa,” katanya.
Di hadapan Wakil Bupati Bantul Abdul Halim Muslih dan Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi, Mendes Halim mengatakan Kemendes tengah melakukan dua hal guna mempercepat pembangunan desa.
Pertama, kata Halim, dengan belanja masalah di desa-desa terutama di kawasan pinggiran dan perbatasan untuk dicarikan solusinya.
“Yang kedua adalah belajar sukses. Nah, belanja masalah diramu dengan kesuksesan yang telah diraih oleh banyak desa termasuk Panggungharjo akan menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil kebijakan di Kemendes,” katanya.
Melalui dua langkah utama ini, Halim berharap percepatan pembangunan desa lebih efektif dan efisien. Pembangunan desa akan fokus pada penguatan sumber daya manusia, jaringan antar-desa termasuk badan usaham milik desa (bumdes) bersama, transformasi ekonomi, dan penguatan infrastruktur.
“Jadi infrastuktur tetap akan menjadi bagian proses pembangunan di desa yang digabungkan dengan penguatan aparatur perangkat mulai tahun ini,” ujar kakak Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar ini.
Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi menjelaskan program ‘Sanggar Inovasi Desa’ yang digelar sejak 2 Januari ini menjadi langkah awal merintis sekolah desa.
“Di sini para pemuda selama 100 jam akan belajar mengenai bagaimana menghadirkan kemandirian ekonomi desa dan meningkatkan potensi lokal desanya. Mereka akan menjadi penggerak di desanya,” jelasnya.
Tidak hanya itu, peserta juga diajarkan cara mengelola data desa sebagai dasar merumuskan kebijakan dan penggunaan teknologi, terutama untuk mengembangkan usaha rintisan atau startup berbasis wirausaha sosial.
“Ini langkah awal kami dalam melahirkan akademi atau sekolah desa yang bisa diikuti oleh aparatur desa. Di akademi desa, aparatur akan mendapatkan jam belajar hingga 12 bulan,” jelasnya.
Baik Mendes Halim maupun Wahyudi sangat berharap pelatihan ini dan akademi desa nanti menjadikan seluruh pemangku desa dan warga desa tidak punya gagasan meninggalkan desa.
Menurut Mendes, hal ini karena desa desa layak untuk diperjuangkan. Dari proses belajar bersama ini, ada upaya mengkloning sukses sebuah desa ke desa-desa lain dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal.