Jakarta, Gatra.com - Jelang pergantian tahun 2019 menuju 2020, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan 6 temuan yang menjadi catatan dunia pendidikan sepanjang tahun 2019.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menyebut, catatan pertama yang menjadi fokus adalah kualitas literasi Indonesia yang bisa dikatakan masuk zona merah atau darurat.
Berdasarkan hasil Programee for International Students Assesment (PISA), Nilai Indonesia yang dirilis PISA tahun ini masih belum beranjak dari papan bawah. Bahkan, lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2012 dan 2015.
"Kemerosotan yang paling tajam terjadi di kemampuan membaca. Peringkat Indonesia untuk kategori membaca ada di 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah. Indonesia hanya ada di atas negara-negara seperti Kosovo (baru merdeka tahun 2008), Filipina, Lebanon, Maroko," kata Ubaid.
Temuan kedua, lanjut Ubaid bahwa kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi yang membuat kekisruhan dalam masyarakat di tahun 2019. Bahkan, diprediksi tahun depan, masih akan terjadi kekisruhan yang sama setelah Mendikbud Nadiem Makarim dinilai belum menemukan solusi yang tepat terkait permasalahan zonasi saat ini.
"Hulu dari problem zonasi yang bikin kisruh tiap tahun adalah nihilnya kebijakan pemerataan pendidikan. Tapi, tampaknya pemerintah menggunakan jalan pintas dengan memaksakan membuat kebijakan pemerataan di level hilir dengan sistem zonasi saat PPDB. Ini jelas salah alamat, harusnya problem hulu yang didahulukan untuk diatasi, bukan lari dari masalah lalu ambil yang gampangnya saja dengan mengatur siswa saat PPDB dengan cara zonasi. Belum lagi pemda yang tak paham apa itu zonasi," jelad Ubaid.
Ubaid juga menemukan adanya dua permasalahan yang harus menjadi PR perbaikan baik Kemendikbud maupun stakeholder pendidikan lainnya.
Ubaid mengkritik kebijakan penghapusan Dirjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat yang menurutnya akan mempersulit kelompok masyarakat marjinal dan mematikan konsep Lifelong Learning.
"Pemerintah juga tampaknya belum serius menghadang radikalisme. Kedepan pemerintah mengarusutamakan moderatisme di sekolah. Pelan tapi pasti, virus intoleransi dan radikalisme mewabah di institusi pendidikan," tegasnya.
Untuk tahun depan, kata Ubaid pemerintah juga harus menanggulangi kasus kekerasan yang pada tahun 2019. Berdasarkan catatan JPPI ada 253 kasus selama 2019 ini. Jika dulu kekerasan banyak dilakukan oleh guru, kini trennya banyak juga dilakukan oleh peserta didik.
Terakhir, yang menjadi catatan JPPI adalah peningkatan program unggulan Presiden Joko Widodo yaitu Kartu Indonesia Pintat (KIP). Menurut Ubaid saat ini adalah program KIP masih banyak yang tidak tepat sasaran, bahkan banyak yang tidak tahu.
Pantauan JPPI, selama 2019 ini ada 303 pengaduan masyarakat terkait program KIP. Kasus yang paling banyak diadukan adalah ketidak tahuan cara mendapatkan KIP (79), distribusi yang tidak merata (61), data KIP yang tidak transparan dan mudah diakses (55), keterlambatan pencairan (43), KIP tidak tepat sasaran (30), pengusulan data siswa miskin tidak terbuka (20), dan tidak ada keterlibatan publik (16).
“Harusnya pemerintah belajar dari tahun-tahun sebelumnya untuk mempermudah akses dan transparansi pengelolaan KIP ini, supaya masyarakat bisa terlibat, transparan, dan tepat sasaran," katanya.