Jakarta, Gatra.com - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, saat ini belum ada langkah serius dari pemerintah untuk menghadang paham radikalisme di lingkungan sekolah. Hal itu terpampang nyata dari mulai munculnya sikap intoleransi sebagai pintu masuk beberapa paham radikal di tanah air.
Disampaikam Ubaid, dari hasil penelitian UIN yang disampaikan olehnya, ada 59% guru muslim sekolah yang mendukung adanya negara Islam. Oleh karena itu, menurutnya tidak mengherankan, kerap ditemukan buku ajar di sekolah hingga ke soal ujian yang menjurus ke arah paham intoleran.
"Tahun 2019 hasil riset menguak bahwa tidak hanya pelajar, tapi guru juga banyak yang terpapar pahan intoleran. Sebanyak 59%. Guru muslim mendukung negara lslam. Seharusnya, disekolah dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang dikedepankan adalah soal moderanisme, bukan fanatisme. Bukan doktrinisasi yang justru menimbulkan fanatisme dan intoleransi," ujar Ubaid saat Hadir Dalam Diskusi bertajuk Catatan Akhir Tahun "Quo Vadis Pendidikan Indonesia" di Kawasan Cikini, Jakarta, Senin (30/12).
Ubaid menambahkan, dalam konteks beragama dan bernegara moderatisme harus dikedepankan. Sekolah serta guru jiga diharapkan bisa mendudukan antara konsep negara dan agama. Menurut Ubaid, Pancasila sendiri merupakan bentuk jalan tengah atau moderat, hal itu dikarenakan Pancasila sendiri sejatinya sudah bersifat konsensus yaitu melalui kesepakatan bersama.
"Relasi Moderatisme dalam beragama dan bernegara adalah kita mencari kesepakatan atau jalan tengah dimana Pancasila NKRI adalah bagian dari moderatisme. [Hal ini] sudah disepakati oleh para founding father kita. Itu kesepakatan bersama yang harus dijaga di jalur moderat," Ujar Ubaid.
Sementara itu, Meski setuju dengan pernyataan Ubaid, Pembina Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Qudrat Nugraha menilai sebelum melakukan pencegahan terhadap radikalisme di lingkungan pendidikan. Namun yang menjadi PR adalah mendefinisikan secara kenegaraan dan formal apa yang bisa disebut sebagai radikalisme karena tafsir radikalisme berbeda.
"Maksud saya nanti jangan hanya karena pakai jilbab malah dianggap radikal. Jadi saya sependapat [ harus ada pendefinisian radikalisme ], khususnya untuk generasi milenial ini. Definisikan radikal itu sesuai dengan versi Indonesia, apalagi Indonesia ini kan mayoritas muslim. Itu perlu terus digelorakan agar tercapai definisi radikal secara mantap," pungkasnya.