Jakarta, Gatra.com - Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Inarno Djajadi mengatakan, tahun 2019 merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian dunia, begitu juga yang dialami Indonesia.
Alasannya, karena adanya sentimen negatif yang ditimbulkan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina terhadap pasar modal dunia dan Indonesia.
Meski di tengah sulitnya kondisi ekonomi dunia, BEI masih tetap dapat mencatatkan kinerja positif, sepanjang tahun 2019. Ini terlihat dari peringkat pertama yang berhasil disabet BEI, sebagai perusahaan pencatatan saham baru (IPO saham) tertinggi di antara bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara.
"Kita ketahui bahwa 2019 bukan merupakan tahun yang mudah. Jadi itu berpengaruh juga terhadap indeks kita dan juga kita lihat, indeks harga saham gabungan juga mengalami pengaruh dari keadaan tersebut. Namun secara setahun, kita masih mencatatkan kinerja yang positif, baik dari supply maupun demand-nya," katanya dalam konferensi pers Penutupan Perdagangan Bursa Efek Indonesia, di gedung BEI, Jakarta, Senin (30/12).
Inarno merinci, selama tahun 2019, BEI telah mencatatkan saham dari total 668 perusahaan, sedangkan untuk aktivitas pencatatan efek di BEI sepanjang tahun, diikuti juga oleh 14 pencatatan Exchange Traded Fund (ETF) baru, 2 Efek Beragun Aset (EBA). Selain itu, ada 2 Obligasi Korporasi Baru (diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat yang baru pertama kali mencatatkan efeknya di bursa), 2 Dana Investasi Real Estate Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (DIRE-KIK) dan 1 Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (DINFRA).
"Ada 76 pencatatan efek baru di BEI sepanjang tahun ini atau melebihi dari target 75 pencatatan efek baru yang direncanakan," katanya.
Tidak hanya itu, lanjut Inarno, aktivitas perdagangan BEI di tahun 2019 juga mengalami peningkatan. Itu tercermin dari kenaikan rata-rata frekuensi perdagangan yang tumbuh 21 persen menjadi 469 ribu kali per hari.
Semua itu menjadikan likuiditas perdagangan saham BEI lebih tinggi diantara bursa-bursa lainnya, di kawasan Asia Tenggara.
"Bahkan pada periode yang sama, Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) turut meningkat 7 persen, menjadi Rp9,1 triliun dibandingkan tahun 2018 yang sebesar Rp8,5 triliun," jelas Inarno.