Jakarta, Gatra.com - Untuk mengatasi peraturan daerah (perda) bermasalah yang tidak sejalan dengan peraturan di atasnya, pihak yang dirugikan dapat mengajukan hak uji materi (judicial review).
Hal ini disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, menanggapi temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai perda bermasalah yang diduga menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan investasi di daerah. Salah satunya yakni Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Judicial review atau hak uji materi dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas peraturan tersebut sepanjang bisa memberikan argumentasinya,” ucap Trubus melalui rilis yang diterima Gatra.com, Kamis (26/12/2019).
Trubus menjelaskan, salah satu Perda yang hingga kini tengah menuai polemik yakni Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sering dinilai cacat hukum karena proses pembuatan kebijakannya tidak mengikuti peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Proses pembuatan kebijakan dilakukan secara tertutup dan diam-diam, sehingga bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi yang tengah digaungkan Pemerintah Pusat.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang menjadi pokok Perda dinyatakan bermasalah.
“Pertama, karena proses pembentukan Perda minim partisipasi publik. Kedua, dari segi muatan regulasi yang menimbulkan dampak ekonomi negatif seperti biaya produksi dan ketiga penanganan Perda oleh Kementerian Dalam Negeri yang dinilai belum optimal karena tidak adanya alat yang ditetapkan Pemerintah pusat untuk menyusun Perda,” ucap Endi Jaweng.
Merespons polemik tersebut Trubus menyampaikan, peraturan tentang pengendalian rokok sudah ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Sehingga aturan daerah, dalam hal ini perda yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Dalam PP 109 disebutkan bahwa kawasan tanpa rokok harus tetap menyediakan tempat bagi para perokok” tambah Trubus.
Dalam berbagai aturan nasional baik PP maupun UU tidak ada larangan total rokok. PP 109/2012 diturunkan dari Undang-Undang Kesehatan yang didalamnya juga tidak melarang total aktivitas maupun kegiatan promosi produk tembakau. “Ini kan sangat bertentangan dengan aturan yang ada di banyak daerah saat ini," tegas Trubus.
UU Kesehatan sebagai induk peraturan bahkan tidak mengatur pelarangan total seperti yang banyak ditemui di Perda KTR beberapa kota, sebut saja Kota Depok dan Kota Bogor. Produk hukum tersebut tidak jelas mengacu ke peraturan yang mana.
Trubus menilai, Perda bermasalah seperti ini akan menjadi contoh pembentukan kebijakan publik yang tidak baik kepada masyarakat dan pemerintah daerah lain. Dia mencontohkan, Perda KTR yang bermasalah juga akan mempengaruhi ekosistem usahanya, karena dalam perda tersebut antara lain melarang toko memajang rokok.
“Ini tentu akan berdampak kurang baik terhadap perekonomian di daerah dan berpotensi mempengaruhi pendapatan negara dari rokok," paparnya.
Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui ada penurunan pendapatan negara dari industri rokok. "Menkeu sudah mengakui bahwa ada penurunan pendapatan negara dari sektor rokok," paparnya.
Ia memperkirakan kondisi ini terjadi karena dampak penurunan produksi rokok sesudah proses pemilihan umum presiden beberapa bulan lalu.
Menurut Trubus, saat ini industri hasil tembakau sudah mengalami kelebihan pengaturan (over regulated). Oleh karenanya, ketimbang membuat atau merevisi berbagai peraturan yang ada, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan edukasi mengenai produk tembakau kepada masyarakat.