Solo, Gatra.com - Keraton Kasunanan Surakarta menggelar upacara adat Mahesa Lawung, Kamis (26/12). Upacara adat ini merupakan ritual kuno yang dilaksanakan setiap bulan Bakso Mulud dan selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis menurut perhitungan penanggalan Jawa.
Ritual dilakukan dengan memendam kepala kerbau yang sebelumnya didoakan di Sitinggil Keraton Surakarta. Seluruh kerabat, abdi dalem hingga Sentana dalem (kerabat raja) mengikuti doa yang dipimpin oleh tetua adat. Selain doa, tetua adat juga merapal puji-pujian yang berbahasa Arab serta mantram berbahasa Jawa.
"Ini merupakan upacara yang sudah sangat kuno. Sebelum Mataram Islam ada, ritual ini sudah dilakukan. Setelah Mataram bercorak Islam, ritual ini tetap dipertahankan," ucap Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) GKR Koes Murtiyah sebelum acara berlangsung, Kamis (26/12).
Selain mantram berbahasa Jawa, ada pula bacaan berbahasa Arab dan juga salawat nabi. "Setelah Mataram bercorak Islam maka mantram ada selawat nabi dan doa-doa berbahasa Arab seperti yang kita dengar tadi," ucapnya.
Usai doa puluhan abdi dan sentana dalem di bawah naungan LDA itu berangkat menuju Alas Krendowahono. Alas atau hutan ini berjaraknya sekitar 15 KM dari Solo untuk mengubur kepala kerbau. "Di sana nanti berkumpul di pendapa untuk sekali lagi membaca doa bersama dan mendengarkan sejarah ritual Mahesa Lawung. Lalu dilanjutkan dengan prosesi penguburan kepala kerbau dan makan bersama," ucapnya.
Seperti semua ritual dalam Tradisi Jawa, Wilujengan Mahesa Lawung juga sarat simbolisme. Dalam masyarakat Jawa, hewan kerbau sering digunakan untuk melambangkan kebodohan. Dengan mengubur kepala kerbau, Keraton ingin menyampaikan bahwa Orang Jawa harus bisa memendam kebodohannya. Selain kepala kerbau, jerohan kerbau yang dikorbankan juga ikut ditanam.
“Maka di Jawa ada unen-unen (peribahasa) bodho longa-longo koyo kebo. Yang bodoh tentunya kan kepala. Kalau jerohannya melambangkan nafsu. Makanya kepala dan jerohan yang kita kubur,” ucapnya.