Bandar Lampung, Gatra.com - Catatan akhir tahun 2019 LBH Bandar Lampung menyebut bahwa praktik politik transaksional dan politik uang masih mewarnai dinamika percaturan politik di Provinsi Lampung.
" Dalam kurun waktu empat tahun, Provinsi Lampung setidaknya menjalani Pemilukada dan pemilu sebanyak tiga kali, dan puncaknya pada Pilpres lalu," kata direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan, di Lampung, Senin 23/12.
Menurut Chandra, tingginya biaya politik masih menjadi permasalahan yang kerap kali dijadikan alasan dilanggengkannya praktik-praktik culas oleh para elit politik.
" Biaya politik yang tinggi membuka peluang keterlibatan oligarki atau pemilik modal untuk menyokong kepada calon kepala daerah yang akan bertarung, tidak berlebihan kalau dikatakan demokrasi yang kita jalani di Lampung telah dibajak oleh pemilik modal," kata Chandra dalam catatan akhir tahun.
Rafleksi akhir tahun yang disampaikan dalam diskusi bertema Api dalam Sekam Pura-Pura Demokrasi Kedaulatan Rakyat Digerogoti ini, LBH Bandar Lampung juga mencatat akibat tingginya biaya politik dan ongkos kampanye, calon kepala daerah cenderung menimbulkan perilaku koruptif kepala daerah ketika berhasil berkuasa.
" Catatan kami, fenomena korupsi di Lampung, tren korupsi berlatar belakang kepala daerah cenderung naik, setidaknya ada 4 bupati non aktif yang sudah di vonis, dan satu bupati ditetapkan tersangka " bebernya
Yang tak kalah mencengangkan, menurut Chandra adalah terbongkarnya dugaan jual beli jabatan yang terjadi di tubuh KPU.
"Hal ini menjadi preseden buruk bagi penyelenggara demokrasi di Provinsi Lampung, karena proses rekrutmen penyelenggara pemilu diduga diwarnai dengan tindakan transaksional " jelasnya.
Menanggapi kondisi demokrasi pada pemilu di Lampung, akademisi ilmu politik Lampung Roby menyampaikan bahwa tingkat kerawanan pemilu provinsi Lampung masuk dalam peringkat 9 besar.
" Merujuk Bawaslu RI, kerawanan pemilu Lampung masuk dalam nomor 9, titik evaluasi kerawanan dalam pilkada 2020 mendatang, diantaranya netralitas penyelenggara, netralitas ASN, dan politik uang," kata Roby
Roby mengatakan ada kecenderungan didaerah-daerah, ASN (Aparatur Sipil Negara) sebagai pengelola anggaran, berpotensi merapat kepada calon kepala daerah yang dinilai akan menang dalam pertarungan politik, sebab itu ia menilai ASN harusnya disamakan dengan TNI- Polri tidak boleh memilih.
" ASN seharusnya sama dengan TNI-Polri, tidak boleh memilih, di daerah tidak boleh milih dalam pilkada, namun untuk pilpres suaranya masih bisa," katanya.
Kerawanan selanjutnya yang masih menjadi momok pada pilkada 2020 menurut Roby adalah politik uang, di Indonesia berdasarkan penelitian praktik politik uang masih tinggi.
" Dalam pemilu juga banyak broker pilkada yang bermain, calon kepala daerah banyak mengeluarkan uang untuk broker tersebut untuk menguasai jaringan, dan karena itu money politik masih menjadi momok pada 2020," katanya.
Roby melanjutkan, politik uang sangat sulit untuk dihapuskan, karena secara sosiologis, kebiasaan orang Indonesia adalah politik uang.
"Karena setiap orang berkunjung kerumah itu dibiasakan membawa hadiah, begitu juga dalam konteks pilkada, calon kepala daerah diharapkan membawa hadiah apabila berkunjung ke suatu rumah atau tempat," katanya.
Begitu pula dalam aspek hukum, juga terdapat UU dimana memperbolehkan ada Politik uang, boleh membagikan souvenir yang disebarkan dengan harga Rp25 ribu.
" Dan sekarang akan menjadi Rp80 ribu " jelasnya.
Roby menyebut pada kenyataanya praktik politik uang sulit ditemukan, karena dalam UU harus ditemukan 50+1 daerah yang terstruktur sistematis dan masif (TSM) terjadi politik uang.
" Itu perlu ada revisi UU 10. 2016 dan UU 7 2017, ini untuk bagaimana menciptakan pemilu yang layak " ujarnya.
Potensi kerawanan selanjutnya, menurut Roby adalah Politik identitas dan media sosial. Diharapkan masyarakat mendapatkan pendidikan agar tidak terjebak dalam politik identitas, dan juga masyarakat harus mampu membaca literasi dalam menyikapi informasi yang beredar di media sosial.
Dalam refleksi catatan akhir tahun tersebut, LBH Bandar Lampung juga mencatat setidaknya ada 190 permohonan bantuan hukum dari 9 kabupaten kota di Provinsi Lampung dengan total penerima manfaat 1.389 jiwa. Sementara tren perkara di Lampung pada 2019 didominasi oleh masalah agraria.