Padang, Gatra.com - Sebagai daerah yang didominasi topografi dataran tinggi dan kawasan hutan dengan lereng yang curam, menjadikan Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sangat berpotensi banjir dan longsor akibat deforestasi dan illegal mining (penambangan ilegal) yang kian masif setiap tahunnya.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf mengatakan, deforestasi masih menjadi tantangan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan kawasan hutan berkelanjutan di Sumbar. Dengan demikian, harus menjadi perhatian serius dari semua pihak untuk menghambat laju deforestasi yang ada.
Sumbar memiliki luasan kawasan hutan mencapai 2.342.893 hektare (ha) atau 55,39 persen dari luas administrasi Provinsi Sumbar. Namun data tutupan hutan Sumbar pada 2017 berkurang menjadi 1.895.324 ha. Ini terus berkurang pada 2019 menjadi 1.871.972 ha.
Baca Juga: Pengelolaan Lingkungan Sumsel Butuh Kemitraan
"Luas tutupan hutan Sumbar saat ini hanya tersisa 44 persen dari wilayah Provinsi Sumbar atau terjadi penurunan seluas 23.352 ha dalam kurun waktu tiga tahun terakhir," ujar Rudi saat menyampaikan Hasil Kajian Catatan Akhir Tahun KKI Warsi di Padang, Senin (23/12).
Penurunan jumlah tutupan hutan di Sumbar disebabkan karena pembukaan lahan untuk kelapan sawit dan perladangan masyarakat, adanya aktivitas ilegal logging, serta tambang emas ilegal (Peti) di kawasan hutan lindung dan sub daerah aliran sungai DAS). Paling dominan terjadi di daerah Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya, Sijunjung, Kepulauan Mentawai, dan Pesisir Selatan.
Dia katakan, menurunnya tutupan hutan akan memiliki dampak dan perubahan terhadap lingkungan dan merugikan manusia. Di antaranya pada kerusakan ekologi dan hilangnya plasma nutfah, berkurangnya cadangan biodiversity krusial. Juga menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, dan banjir bandang yang selama ini hampir di setiap kabupaten/kota.
Baca Juga: Bahas Konflik Harimau, Herman Deru Inginkan Habitat Dijaga
Tidak hanya itu, penurunan tutupan hutan juga menyebabkan kekeringan yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya, Limapuluh Kota, Pasaman, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar, Kota Padang, dan Bukittinggi.
Penurunan tutupan hutan juga memicu pencemaran sumber sungai hingga ke daerah hilir, memicu perubahan iklim, hingga konflik satwa. Banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana, meningkatnya angka kemiskinan, dan menurunnya kualitas hidup akibat krisis pangan dan air bersih.
"Meski tidak terlalu signifikan dibandingkan provinsi lainnya, namun tentunya persoalan ini harus segera disikapi secara bersama, agar tidak semakin merusak longkungan dan membawa dampak jangka panjang," sebutnya lagi.