Jakarta, Gatra.com- Produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) adalah salah satu jenis dari produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
Produk tersebut jika digunakan secara tepat dapat membantu mengurangi masalah rokok di Indonesia. Namun, informasi yang akurat terhadap produk tembakau yang dipanaskan masih minim diketahui oleh perokok dewasa, sehingga dibutuhkan sosialiasi secara masif terhadap produk tersebut.
Pendiri Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, Prof. Dr. drg. Achmad Syawqie, M.S., menyatakan, Indonesia menempati urutan ketiga untuk jumlah perokok tertinggi di dunia. Dengan demikian, satu dari lima orang di Indonesia adalah perokok.
“Permasalahan rokok di Indonesia sudah lama sekali tidak ada jalan keluarnya. Kalau dulu kebutuhan nikotin hanya didapati melalui rokok, sekarang ada cara lain untuk memperoleh kebutuhan nikotin dengan risiko yang lebih rendah yaitu melalui produk tembakau yang dipanaskan,” katanya pada Senin (23/12) melalui rilis yang diterima Gatra.com.
Produk tembakau yang dipanaskan memiliki kadar zat kimia yang lebih rendah daripada rokok karena dalam penggunannya tidak terjadi proses pembakaran, melainkan pemanasan. Produk tersebut memanaskan tembakau asli yang dibentuk seperti batang tembakau berukuran kecil.
Ketika dipanaskan, produk tersebut menghasilkan uap, bukan asap, yang mengandung nikotin. Karena tidak ada proses pembakaran, produk tembakau yang dipanaskan tidak menghasilkan TAR, zat karsinogen yang memicu kanker atau tumor ganas, dan karbon monoksida.
Hal ini diperkuat dengan hasil kajian ilmiah yang dilakukan American University of Beirut (2018). Hasil kajian ilmiah itu menyimpulkan, produk tembakau yang dipanaskan dan rokok menghasilkan nikotin dalam jumlah total yang sama.
Namun produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) sebesar 85 persen dan senyawa karbon (Carbonyl Compound) sebesar 77% lebih rendah dari kadar yang dihasilkan oleh rokok.
Adapun ROS biasanya dikaitkan dengan berbagai penyakit yang berkaitan dengan rokok, seperti kanker (ROS berperan sebagai pemicu perkembangan kanker atau tumor ganas).
“Hasil kajian ilmiah tersebut semakin menguatkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah daripada rokok, karena tidak menghasilkan TAR. Pemerintah seharusnya mensosialisasikan hasil-hasil kajian ilmiah dan informasi yang akurat mengenai produk tersebut kepada perokok dewasa, sehingga perokok dewasa memiliki pilihan untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko daripada terus merokok,” jelas Syawqie.
Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment/BfR) juga mengkaji produk tembakau yang dipanaskan. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat perusakan zat terhadap organisme) yang lebih rendah hingga 80%-90% dibandingkan rokok konvensional.
Dengan sejumlah hasil kajian ilmiah tersebut, Syawqie mendorong pemerintah untuk melakukan kajian ilmiah yang mendalam terhadap produk tembakau yang dipanaskan. Sebab, Indonesia masih minim kajian ilmiah.
Dalam melakukan kajian ilmiah, pemerintah dapat menggandeng akademisi, regulator, dan pelaku usaha. Nantinya, hasil dari kajian ilmiah tersebut dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk membuat regulasi khusus bagi produk tembakau yang dipanaskan.
“Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan kajian ilmiah di tengah polemik produk tembakau alternatif. Adanya kajian ilmiah yang komprehensif akan memberikan kebenaran kepada publik, terutama perokok dewasa, mengenai potensi manfaat dari produk tembakau yang dipanaskan,” tutup Syawqie.