Jakarta, Gatra.com - Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didik Junaedi Rachbini menilai demokrasi Indonesia kini sudah mengarah kepada otoritarianisme.
Dalam kata pengantarnya di buku "Menyelamatkan Demokrasi", Didik melihat siklus 20 tahunan ketika demokrasi mengalami masalah kembali terjadi di Indonesia.
"Suara civil society (masyarakat madani) dalam demokrasi yang ada sekarang sangat lemah dan suara parlemen untuk check and balance hampir mustahil, karena semua yang ada di sana berbuat kekuasaan, tak mengerti sistem," ungkapnya dalam acara diskusi Outlook Demokrasi di ITS Tower, Jakarta, Sabtu (21/12).
Didik menyebut semua itu disebabkan masuknya oposisi ke lingkaran pemerintahan pasca pemilu 2019. Konsekuensinya, parlemen hanya sekadar menjadi corong kepentingan negara (eksekutif).
"Kosongnya check and balance menyebabkam demokrasi menjadi cacat, seperti peratau ayunan yang tak punya balance (keseimbangan)," jelasnya.
Ia menambahkan contoh lain dari kecenderungan ke arah otoritatianisme tersebut adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Didik mengingatkan seluruh pihak agar waspada jangan sampai iklim demokrasi menimbulkan konflik. Ia mencontohkan kondisi politik Mesir dan Lebanon yang kerap penuh konflik setelah penerapan demokrasi.
"Demokrasi tanpa rule of law dan terlalu banyak konflik, maka akan jadi perbanditan," tegasnya.
Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan Indonesia telah mengalami regresi atau kemunduran demokrasi. Berdasarkan pendapat berbagai ahli, kemunduran ini mulai terjadi 10 tahun terakhir yaitu pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
"Kemunduran demokrasi semakin berlanjut akibat menguatnya kelompok Islam Konservatif dan Nasionalis yang hiper (berlebihan)," katanya mengutip hasil penelitian Veidi Hadiz tahun 2017.
Wijayanto melihat pada tahun 2016 Prseiden Joko Widodo merasa percaya diri dengan koalisinya yang besar dan stabil, sehingga berani menetapkan berbagai program pembangunan yang dijalankannya.
"Hasrat pembangunan infrastruktur diiringi pelanggaran undang-undang yang ada demi pembangunan itu sendiri. Isu HAM (Hak Asasi Manusia) jadi minor di sana," terangnya.
Dikatakan, masyarakat Indonesia juga masih setengah hati mendukung demokrasi. Hal ini terlihat dari dukungan sebagian pihak yang mendukung kepemimpinan militer, menolak pemimpin berbeda agama, dan adanya dukungan terhadap pembubaran organisasi masyarakat atas nama pemberangusan radikalisme.
"Kondisi ini mendasari pemilihan politik SBY dan Jokowi. Jadi, tidak sepenuhnya publik Indonesia adalah follower democratic value," ungkapnya.