Yogyakarta, Gatra.com – Istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah, dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa di bidang sosiologi agama oleh Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (18/12).
Dalam penganugerahan itu, Shinta membacakan pidato berjudul “Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaaan: Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinekaan ”. Di pidato ini, ia memaparkan pandangan dan pengalamannya melakoni agenda pluralisme dan kemanusiaan.
“Peristiwa tragedi Mei 1998 telah menyadarkan saya tentang betapa pentingnya kerukunan dan kasih sayang di antara sesama anak bangsa Indonesia. Apalagi setelah saya menjadi Ibu Negara,” tutur dia dalam pidato yang salinannya diterima Gatra.com.
Sinta pun bertolak dari ibadah puasa dan kegiatan Sahur Keliling yang dirintisnya. Menurut dia, selama ini kebanyakan muslim menjalani ibadah puasa sekadar sebagai seremoni dan mengugurkan kewajiban. “Belum sampai pada tataran revolutif yang mampu mengubah perilaku, gaya hidup, serta pola pikirke arah lebih baik,” kata Sinta.
Padahal ibadah puasa punya dimensi spiritual dan sosial. Tujuan puasa mencapai ketakwaan dan perwujudannya berupa pengendalian diri melalui perilaku yang menghargai humanisme dan akhlak yang baik.
“Ketika manusia terjebak dalam pragmatism dan simbolisme sehingga menafikan keberagaman sebagai fitrah kehidupan, maka perlu menumbuhkan kembali smeangat dan kesadaran pentingnya hidup bersama secara damai, menghargai dan menerima perbedaan,” ujar perempuan kelahiran Jombang, 8 Maret 1948 ini.
Dengan begitu, puasa mengajarkan persaudaraan sejati tanpa memandang latar belakang agama, suku, golongan, dan status sosial. Untuk itu, pada tahun 2000, Sinta pun terbetik menggelar sahur keliling bersama para kaum marjinal, kemudian berkembang dengan semua suku dan agama.
Hingga kini, Sahur Keliling rintisan Sinta telah berjalan selama 19 tahun, di berbagai daerah, dan melibatkan berbagai komunitas lintas agama dan etnis. “Kegiatan ini membuat kami betul-betul bisa merasakan, betapa indahnyakerukunan dan hangatnya kebersamaan,” ujarnya.
Sinta ingin menjadikan bulan puasa Ramadan sebagai wahana dan gerakan kepedulian sosial kemanusiaan yang bebas sekat-sekat keagamaan,ekonomi, dan politik. Apalagi, kata Sinta, hidup harmonis, toleran, saling tolong telah termuat di ayat-ayat suci Al Quran.
“Kesombongan teologis yang jadi salah satu sebab pertikaian antar agama dan antar budaya serta menyulut tindakan brutal dan perusakan dan penutupan tempat ibadah keyakinan lain, tak seharusnya terjadi,” kata dia.