Jakarta, Gatra.com - Pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) diduga hanya sebatas pembagian proyek bisnis antara pemerintah dengan pengusaha. Dugaan itu disampaikan oleh sejumlah aktivis lingkungan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menyebut dugaan itu bermula saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan ide pemindahan ibu kota pada 29 April 2019 menjelang sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, keputusan politik itu dibuat berselang 12 hari setelah pencoblosan Pilpres pada 17 April 2019.
Merah menilai keputusan politik itu terlalu tergesa-gesa, sebab seharusnya, pemerintah melakukan kajian secara ilmiah dan sosial terlebih dahulu, baru mengambil keputusan. Ia juga menilai, pemindahan itu merupakan upaya pemutihan dosa-dosa korporasi.
"Rencana megaproyek ibu kota baru tak lebih dari upaya pemutihan terhadap dosa-dosa korprasi. Bentuk cuci tangan korporasi, salah satunya perusahaan pertambangan," kata Merah dalam diskusi 'Ibu Kota Baru untuk Siapa?' di YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17/12).
Merah melanjutkan, dalam investigasi yang dilakukan sejumlah LSM, ada 162 konsesi di atas kawasan 183 ribu hektare yang disebut sebagai wilayah ibu kota baru. Ia bersama rekan seperjuangannya itu awalnya mengkatagorikan menjadi tiga ring. Pertama, lahan seluas 5.600 hektare, lahan kedua 4.000 hektare, dan terakhir 1.800 hektare atau tiga kali luas DKI Jakarta.
"Lahan di atas 183 ribu hektare itu bukan ruang kosong, seakan narasi yang digemborkan [pemerintah] itu, akan membangun di atas ruang yang tak bermasalah. Itu sudah menjadi pusat penjarahan dan ekstrasi sumber daya alam, bahkan sebelum rencana [pemindahan] ibu kota ini muncul," paparnya.
Ada pun 162 konsesi itu terdiri dari konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batubara hingga properti. Sebanyak 158 dari 162 konsesi ini adalah konsesi batubara yang masih menyisakan 94 lubang tambang menganga dan membahayakan warga sekitar.
Merah menyebut pemilik konsesi merupakan politikus atau relasi dari pejabat pemerintahan. Pada ring 1 dan 2, ada konsensi milik Sukanto Tanoto, pemilik PT ITCI. Merah menyebut orang tersebut terlibat dalam kasus pajak.
Masih di ring pertama, terdapat konsesi yang dimiliki Hasjim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Hasjim merupakan pemilik ICIJ Kartika Utama.
"Kebutuhan air bersih akan meningkat karena ada 1,5 juta orang yang diprediksi akan tinggal di sana [ibu kota baru]. Yang diutungkan perusahaan air milik Hasjim," paparnya.
Sementara itu, di ring ketiga ada konsesi milik Rheza Herwindo yang merupakan anak Setya Novanto. Konsesi itu merupakan lahan batubara.
Pada ring ketiga, ada Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Merah menyebut politikus Golkar itu merupakan pemilik perusahaan Toba Bara Grup.
Selain nama-nama itu, Merah membeberkan sejumlah nama politikus dan pengusaha, di antaranya Yusril Ihza Mahendra, Liem Hariyanto, Rita Indriawati, Thomas Aquinas Muliatna Djiwandono serta Brata Bhakti.
Kajian selama lebih dari tiga bulan itu dilakukan koalisi masyarakat sipil, yakni JATAM Nasional, JATAM Kalimantan Timur, WALHI Nasional, Walhi Kalimantan Timur, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, dan Pokja Pesisir dan Nelayan.
Laporan tersebut dirilis di kantor YLBHI Jakarta dan Samarinda, bertepatan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kalimantan Timur untuk menentukan titik pembangunan istana dan peresmian jalan tol Balikpapan-Samarinda, Selasa (17/12).
Terkait tudingan ke Barata Bhakti, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono, mengatakan tudingan tersebut tidak jelas. "Belum jelas ceritanya, yang bagaimana? UU pemindahan saja belum ada," ujarnya.