Jakarta, Gatra.com - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia meminta DPD RI untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat demi melindungi hak-hak masyarakat adat dan eksistensi hukum adat yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia.
Sekretaris Dewan Pembina APHA Indonesia, Prof. Dr. Rr Catharina Dewi Wulansari, SH, MH, SE, MM, Ph. D, dalam keterangan tertulis, Selasa (17/12), menyampaikan, negara harus melidungi hak-hak masyarakat adat dan eksistensi hukum adat karena masyarakat adat merupakan bagian tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Adapun hukum adat, lanjut dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung ini, hingga kini hukum adat masih tetap eksis dan melingkupi kehidupan masyarakat adat.
"APHA Indonesia memandang bahwa hukum adat adalah cerminan kepribadian bangsa, sehingga hukum adat dapat dikatakan sebagai cerminan jiwa hukum Indonesia. Eksistensi hukum adat dan masyarakat adat beserta hak-hak adatnya itu wajib dilindungi oleh negara," ujarnya.
Pascaamandemen UUD 1945, pengakuan terhadap eksistensi hukum adat dimuat dalam Pasal 18B UUD 1945. Namun dalam realitasnya, amanat Konstitusi dan berbagai norma hukum yang berkaitan dengan pengakuan atas hukum adat itu belum terimplementasi secara maksimal, bahkan terabaikan dalam pembangunan hukum nasional.
Pembangunan hukum nasional yang cenderung berkiblat pada hukum barat yang berorientasi pada kodifikasi dan unifikasi hukum membuat hukum adat makin termarginalkan dan tergerus oleh bangsa-nya sendiri untuk dan atas nama perkembangan masyarakat, budaya, dan hukum.
"Bahkan ada Fakultas Hukum yang sudah menghapus mata kuliah hukum adat dari kurikulumnya. Ini adalah sebuah ironi kebangsaan. Sebab hukum adat itu mencerminkan jiwa bangsa dan budaya hukum bangsa Indonesia," ujarnya.
Menghilangkan eksistensi hukum adat berarti menghilangkan eksistensi jati diri dan jiwa bangsa. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan hukum adat, tidak jarang hakim kurang menggali nilai-nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang berperkara, sehingga putusannya dinilai tidak adil oleh masyarakat adat.
"Oleh sebab itu, menjadi sangat penting bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk tidak semata-mata menerapkan hukum positif dan mengabaikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam memeriksa, menuntut dan memutus perkara-perkara yang melibatkan masyarakat adat dan perkara adat," katanya.
Jika ditelisik, ujar Catharina, banyak muatan hukum adat yang dijadikan prinsip hukum modern dalam penyelesaian sengketan seperti prinsip win-win solution, prinsip perdamaian, prinsip mediasi, dan lain-lain.
"Agaknya politik hukum dan paradigma pembangunan hukum nasional kita perlu direkonstruksi, agar pembangunan hukum nasional betul-betul mengutamakan penggalian dan pencarian nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
"Studi banding ke luar negeri dalam konteks penyusunan sebuah RUU adalah wajar, tetapi hasil studi banding itu hanya sebagai pelengkap semata," katanya.
Penelitian dan kajian terhadap hukum adat perlu mulai dihidupkan kembali agar hasilnya bermanfaat dalam pembangunan hukum nasional. Muatan sebuah RUU wajib bersumber dari nilai-nilai dan hukum yang hidup dalam bangsa sendiri, serta dibutuhkan.
Bukankah, RUU yang sudah menjadi UU itu diterapkan bagi bangsa Indonesia dan bukan bangsa asing. "Belanda saja mengakui eksistensi hukum adat, mengapa justru bangsa sendiri mengabaikan dan me-marginalkan eksistensi hukum adat?" ujarya.
Catharina menilai, nampaknya ada kesesatan pikir banyak kalangan akibat terlalu mengagungkan hukum barat yang jelas berkarakteristik individual dan sekuler. Padahal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang komunal dan religius.
"Mengembalikan ruh pembangunan hukum nasional agar sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah sebuah keniscayaan," katanya.
Masyarakat Indonesia silakan saja terus maju dan berubah, tetapi jangan pernah kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang komunal dan religius. Menjadikan hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai salah satu pondasi pembangunan hukum nasional urgen untuk dilakukan, agar produk hukum nasional efektif dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Terkait persoalan ini, kata Catharina, APHA ?Indonesia telah melakukan audiensi kepada Pimpinan DPD RI. APHA Indonesia diterima oleh Wakil Ketua DPD RI, Dr. Nono Sampono, S.Pi, M.Si, kemarin.
Audiensi tersebut merupakan pertemuan lanjutan untuk menindaklanjuti rencana kerja sama antara APHA Indonesia dengan DPD RI terkait hukum adat dan masyarakat adat, termasuk upaya APHA Indonesia untuk mendorong percepatan proses penyelesaian RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang berproses di DPR RI.
"Semoga simposium nasional hukum adat yang telah digagas oleh Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2019 dapat terealisasi sebagaimana yang diharapkan. APHA Indonesia siap bekerja sama dengan Pimpinan DPD RI Periode 2019 – 2024 untuk menyelenggarakan simposium nasional hukum adat tersebut," katanya.
Kegiatan simposium ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam upaya merekonstruksi muatan politik hukum nasional dan pembangunan hukum nasional agar berjiwa dan berkarakter bangsa Indonesia sendiri.
Penelitian dan pengkajian mengenai hukum adat yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia juga perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.
APHA Indonesia menyatakan, sudah saatnya muatan hukum adat dibumikan agar mewarnai setiap produk undang-undang dan peraturan perundang-undangan nasional, termasuk produk hukum di daerah provinsi, kabupaten, dan kota.
"Ini penting agar eksistensi hukum adat tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas, sehingga terus lestari di negeri dan bangsanya sendiri," ujarnya.