Batanghari, Gatra.com - Aplikasi perpustakaan digital iBatanghari berisi konten-konten positif telah hadir menghiasi ponsel pintar. CEO PT Woolu Aksara Maya, Sulasmo Sudarmo mengatakan 130 negara bisa membaca konten i-Batanghari.
"Kita tahu sosial media sudah mejadi kebutuhan saat ini. Tidak ada pilihan, semua anak-anak, suka tidak suka masuk dalam era sosial media. Dalam sosial media tidak ada yang memvalidasi terhadap konten," kata Sudarmo dikonfirmasi Gatra.com usai launching iBatanghari di Gedung Pemuda Muara Bulian belum lama ini.
Menurut Sudarmo, konten yang paling berharga di sosial media adalah konten-konten biasanya pornografi, ujaran kebencian dan seterusnya. Kalau konten ini menjamur dan masyarakat pasrah, anak-anak mau konsumsi informasi apa lagi.
"Maka, perpustakaan sesuai dengan amanat undang-undang, harus muncul ke depan, tampil ke depan di era digital ini memberikan konten-konten yang benar. Begitupun konten-konten yang valid, ada penulisnya, ada penerbitnya dan seterusnya," ucapnya.
Bagimana cara konten-konten valid dibawa dalam konteks digital tanpa harus mengorbankan hak cipta? Ia menjawab ini cikal bakal muncul ide membuat perpustakaan digital. Dimana konten dilindungi dan bisa dimanfaatkan sesuai dengan yang dijanjikan.
"Jadi, kalau satu judul, ada 10 copy, maka 10 orang bisa pinjam buku bersamaan. Orang ke-11 antre. Tapi antrean kita batasi tiga sampai empat hari. Habis itu kembali tidak bisa pinjam lagi, kecuali ada copy. Nah, jadi itu konteksnya," ujarnya.
iBatanghari merupakan sebuah terobosan. Karena menjadi ekosistem bagi penulis dan penerbit untuk mempublikasikan karyanya dan tetap mendapat hak ekonominya. Kemudian pemerintah punya program, perpustakaan punya program menyediakan konten dan masyarakat bisa membaca grafis.
"Kami dari Woolu Aksara Maya sebagai pengembang aplikasi menghibahkan aplikasi ini tidak dibayar satu rupiah pun. Karena mobile aplikasi itu cepat sekali perkembangannya. Kalau dibayar mati," katanya.
Dengan konsep patnership ini, kata Sudarmo, Pemda Batangahari membuat konten program sosialisasi. Sedangkan pihaknya fokus mengembangkan teknologinya. Bagaimana ini bisa sampai ke Batanghari? Ini sebuah loncatan yang luar biasa buat teman-teman Pemda Batanghari nun jauh di pedalaman Sumatera.
"Pak Mukhlis berinisiatif datang ke Perpustakaan Nasional ingin membuat layanan yang sama buat masyarakat Kabupaten Batanghari. Awalnya kelihatan naif, kan cukup dengan satu aplikasi di Jakarta. Tapi mengembangkan budaya baca, meningkatkan minat baca adalah tanggung jawab kita bersama. Karena itulah inisiatif dari Pemda Batanghari ini sebuah loncatan. Makanya kita launching," ujarnya.
Poin penting menurut Sudarman adalah setelah launching. Bagimana konten-konten lokal di Batanghari bisa ditulis ulang oleh anak-anak dan generasi muda Batanghari. Kemudian diupload menjadi konten yang ada di iBatanghari.
"Semuanya bisa membuat perpustakaan di dalamnya. Tapi ketika diupload, tidak bisa otomatis aktif. Perpustakaan harus cek dulu. Kalau perpustakaan bilang iya, maka diaktifkan. Sehingga masyarakat bisa baca. Bahkan di 130 negara bisa baca konten-konten yang ada di Kabupaten Batanghari," katanya.
Proses launching iBatanghari memakan waktu satu tahun. Sebab, Kabupaten Batanghari tidak punya anggaran. Tetapi daerah ini luar biasa. Dari kabupaten yang ada di Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari yang pertama memiliki aplikasi perpustakaan digital untuk Kabupaten.
"Saya melihat anak-anak muda dan saya baru tahu ternyata di sini ada universitas. Ada tiga universitas. Mereka punya ruang hari ini untuk membuat konten. Harapan saya anak-anak muda Batanghari bisa berkreasi membuat konten," ucapnya.
Membuat konten dan membuat buku sekarang ini sangat mudah. Tidak seperti dulu harus mengirim ke penerbit di Jakarta dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena sistem saat ini serba digital.
"Tapi harus tetap selektif. Karena validasi menjadi nomor satu di Perpustakaan. Tidak mungkin ada hoaks disana. Tidak mungkin ada ujaran kebencian disana," katanya.
Semua masyarakat Kabupaten Batanghari termasuk ASN (Aparatur Sipil Negara) masuk ke dalam dunia digital tanpa ada yang mengajari. Penggunaan sosmed tidak tahu konteks, masalah, konsep dan filosofinya.
"Tiba-tiba kita gunakan karena mudanya aplikasi. Setelah itu kita membaca, lama-lama kita terpengaruh, kemudian kita mengomentari. Padahal kita tidak tahu siapa yang membuat, benar orang atau robot yang mengendalikan," ujarnya.
Ia mengimbau masyarakat jangan komentar kalau tidak paham. Karena setiap komentar, jejak digital akan tetap diketahui. Jejak digital sangat sulit dihapus. Situasi ini akan sangat berpengaruh buat masyarakat, apalagi teman-teman ASN yang memang abdi negara.
"Di sinilah situasi dimana teman-teman harus pandai memanfaatkan sosial media," katanya.