Jakarta, Gatra.com - Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis mengatakan, zonasi tata ruang merupakan salah satu kendala dalam pengembangan budidaya rumput laut. Menurutnya, pengembangan budidaya rumput laut kerap tumpang tindih dengan pariwisata, perhubungan laut, dan penggunaan lainnya. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik yang memerlukan batu bara, sehingga menyebabkan pencemaran.
" Bali tergusur pariwisata. Itu yang harus ditata. Kebersihan lingkungannya harus dijaga," ujarnya kepada wartawan di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (13/12).
Wakil Ketua Umum Kelautan dan Perikanan Kadin Indonesia Yugi Prayanto menyetujui pernyataan Azis. Menurutnya, pengembangan budidaya rumput laut dengan keramba jaring apung seharusnya berada di perairan yang tenang. Oleh karena itu, memerlukan kajian akademis. Baca juga: Daya Saing Rumput Laut Lemah, Padahal Melimpah dan Potensial
"Nah di kita kalau enggak ada kajian akademisnya itu, dia bisa ambil tempat dengan ombak tinggi. Akhirnya dia hancur. Kendala kan yang kemarin di Aceh," tuturnya di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (13/12).
Oleh karena itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menegaskan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) tetap diperlukan di lokasi-lokasi investasi. Meskipun sudah ada perizinan satu pintu melalui Online Single Submission (OSS) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). RDTR ini diperlukan agar zonasi daerah prioritas investasi lebih jelas peruntukannya, termasuk bagi budidaya rumput laut.
"Kami menargetkan untuk menerbitkan 2.000 RDTR (hingga 2024) di daerah yang jadi prioritas investasi," ujarnya dalam acara Media Gathering di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Rabu (11/12).