Kupang, Gatra.com - Kemenko Polhukam menggelar Rakor Sosialisasi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dan Penguatan Pokja IDI Provinsi di Hotel Sotis Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Kamis (12/11). Acara yang diikuti para anggota Pokja IDI se-NTT ini dihadiri langsung Kabag Penguatan Demokrasi Kemenko Polhukam Kolonel Infantri Sidik dan dibuka Kepala Badan Kesbangpol Johana Lisapaly, SH, MSI selaku Sekretaris Pokja IDI Provinsi NTT.
Kepala Badan Kesbangpol Johana Lisapaly, SH, MSI selaku Sekretaris Pokja IDI Provinsi NTT dalam arahannya menyebutkan bahwa Kemenko Polhukam RI hadir ke NTT untuk memfasilitasi Pokja IDI NTT agar lebih memahami mengenai IDI tersebut secara baik.
“Pokja ini yang diberi tugas untuk mengawal perkembangan demokrasi dengan instrument yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu IDI. IDI ini sudah menjadi instrumen untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia, sehingga Pokja perlu difasilitasi untuk dapat memahami ini secara baik,” kata Johana E. Lisapaly.
Lebih lanjut Johana mengatakan bahwa untuk NTT, IDI tahun 2018 memang sudah tinggi dan mendapat point 82.32. Akan tetapi kalau dibedah berdasarkan 3 aspek dan 11 fariabel dengan 28 indikator, ternyata ada 5 indikator yang masih buruk.
“Ini yang kemudian kita dikuatkan di sini melalui sosialisasi, kira-kira langkah apa yang harus dilakukan oleh Pokja bersama dengan seluruh stakeholders yang ada di daerah ini. Artinya Pokja dikuatkan untuk bisa memfasilitasi,” jelasnya.
Dikatakan oleh Johana bahwa 5 indikator yang buruk di tahun 2018 merupakan indikator yang mendapat penilaian di bawah 60. Indikator tersebut yakni indikator 10, mengenai ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis, atau terhadap golongan rentan lainnya yang mendapat point 41,67.
Selain itu ada indikator 15, yakni presentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi. “Jadi meskipun naik menjadi 46,15 dari 30.77 tetapi untuk Provinsi NTT masih di bawah, karena memang belum 30 persen,” katanya.
Selanjutnya, indikator yang juga buruk ialah indicator demonstrasi atau mogok yang bersifat kekerasan. Indikator berikutnya ialah rekomendasi DPRD kepada eksekutif, yang justru mengalami penurunan dari 17,86 di tahun 2017 menjadi 14.28.
“Ini anggota Pokja harus diskusikan, karena kita melihat bahwa DPRD itu banyak mengeluarkan rekomendasi hanya mungkin kurang terpublikasi. Untuk itu saya minta Pokja untuk melakukan silaturahmi ke DPRD untuk menyampaikan hal ini. Dengan demikian hasilnya nanti benar–benar obyektif,” tuturnya.
Selanjutnya, indikator lainnya yang buruk ialah upaya penyediaan APBD oleh pemerintah daerah. Indikator ini memperoleh nilai 50. “Saya yakin di 2019 ini akan naik karena kita sudah ada keterbukaan informasi publik, sudah ada lembaga KPID, dan Kominfo yang memiliki aplikasi untuk memberikan informasi kepada public terkait dengan penyelenggaran pemerintah, pembangunan, dan kemasyarakatan. Saya pikir ke depan ini bisa naik,” sambung Johana
Sementara itu Dr Abdul Malik Gismar Tenaga Ahli IDI, Dosen Universitas Paramadina Jakarta saat memaparkan materinya mengatakan, IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia
“Setiap angka IDI mempunyai makna yang terkandung di balik semua indikator yang digunakan. Jadi IDI adalah Fact-Based Information, bagian dari upaya mengembangkan budaya pengambilan keputusan. Berbasis bukti, yang sesuai deklarasi dunia tentang statistic di Istambul, Turki ,” kata Dr Abdul Malik Gismar.
Karenanya lanjut Dr Abdul Malik Gismar IDI harus dapat menunjukkan tingkat dan perkembangan demokrasi di tingkat Provinsi. IDI juga dapat membantu perencanaan pembangunan di bidang politik pada tingkat Provinsi
“Untuk itu diharapkan IDI harus turut berperan untuk perkembangan demokrasi baik di daerah. Bersama masyarakat harus dapat mengambil langkah-langkah kongkrit berdasar kajian ilmiah untuk memperbaiki kinerja Provinsi masing-masing di masa mendatang,” ujar Dr Abdul Malik Gismar.
Sedangkan Alberth Christian Lulan, Kepala Seksi Hansos BPS NTT dalam paparannya dengan materi yakni Profil IDI Tahun 2018 Provinsi NTT mengatakan persoalan terbesar terhadap kondisi kebebasan sipil yang baik ini datang terutama dari Politik Ketakutan (The Politics of Fear) melalui media sosial.
“Persoalan terbesar terkait kinerja lembaga-lembaga demokrasi adalah vote belum menjadi voiceserta kinerja pemerintah yang belum optimal sampai sekarang. Sementara mayoritas rakyat NTT walau paham tentang kebebasan berdemokrasi, bebas menyalurkan aspirasi tetapi masih dihantui politik ketakutan,” kata Alberth.