Den Haag, Gatra.com - Para pengacara di Myanmar mengecam Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi yang memilih untuk mengabaikan diskriminasi terhadap warga muslim Rohingya di Myanmar. Padahal, Aung San Suu Kyi merupakan seorang peraih penghargaan Nobel Perdamaian dan mantan aktivis pro-demokrasi Myanmar.
Mereka mengatakan pada Kamis (12/12), diskriminasi terhadap warga muslim ini sudah sangat keterlaluan hingga terlihat sebagai sebuah tindakan genosida.
Dilansir The Associated Press, para pengacara ini memberikan bukti-bukti berupa citra satelit, dan foto-foto grafik yang menurut mereka sebagai tindakan pemusnahan etnis dan genosida yang disengaja.
Bahkan, mereka menyebut telah terjadi pembunuhan warga sipil, pemerkosaan terhadap wanita dan pembakaran rumah yang memaksa lebih dari 700.000 warga etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga seperti Bangladesh.
Bahkan, pengadilan tinggi PBB sedang melakukan proses hukum darurat untuk menentukan apakah personel militer Myanmar melakukan genosida terhadap minoritas Rohingya sejak 2017 lalu.
Selain itu, Gambia, yang bertindak atas nama sekelompok besar negara-negara Muslim, sempat meminta rapat dengar pendapat (RDP) dengan Mahkamah Internasional. Menurut Gambia, pelanggaran HAM terhadap Rohingya berlanjut hingga saat ini.
Gambia ingin Mahkamah Internasional untuk mengambil sebuah tindakan menggunakan kekuasaannya. Mereka meminta untuk mencegah semua tindakan yang diduga pada kejahatan genosida.
Proses pengadilan Mahkamah Internasional di Den Haag memberi tontonan yang mencengangkan pada hari Rabu saat Suu Kyi, yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 1991 karena memperjuangkan demokrasi dan hak-hak di bawah junta Myanmar yang berkuasa saat itu, membela tentara yang menahannya dalam tahanan rumah selama sekitar 15 tahun. .
"Kami tidak mendengar apa pun tentang kekerasan seksual dari Myanmar kemarin, tidak ada sepatah kata pun tentang hal itu. Karena itu tidak bisa dipungkiri dan tak terkatakan, mereka memilih untuk mengabaikannya sepenuhnya. Saya tidak bisa menyalahkan mereka. Saya benci harus menjadi orang yang mempertahankannya," ujar pengacara Paul Reicher kepada pengadilan dunia pada Kamis (12/12).
Sebelumnya, Suu Kyi bersaksi pada Rabu (11/12) bahwa eksodus Rohyinga adalah konsekuensi tragis dari permusuhan yang diprakarsai oleh pemberontak. Tuduhan genosida dan kejahatan lain yang dilakukan tentara berasal adalah sebuah tindakan pertahanan negara.
"Konflik bersenjata internal yang dimulai dengan serangan bersenjata yang terkoordinasi dan komprehensif, yang direspon oleh pihak pertahanan Myanmar," katanya.
Suu Kyi juga menegaskan bahwa perwakilan hukum Gambia telah mengungkapkan gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan tentang apa yang terjadi di negara bagian Rakhine utara Myanmar pada Agustus 2017.
Tapi, Reicher berpendapat sebaliknya, dengan mengatakan, tidak ada kesimpulan yang masuk akal untuk menarik kesimpulan selain inferensi niat genosida dari pola perilaku negara.
Menurut Reicher, semua kaun Rohingya menjadi target, dan tidak ada yang selamat. Hal ini mengacu pada laporan misi pencari fakta di PBB tentang operasi pembersihan militer.
"Semua orang adalah target dan tidak ada yang selamat. Ibu, bayi, ibu hamil, tua dan lemah. Mereka semua menjadi korban kampanye kejam ini," katanya.
Dia juga membantah klaim Myanmar bahwa tidak ada kuburan massal yang ditemukan. "Yang pasti, Myanmar belum membuatnya lebih mudah untuk menemukan mereka dengan menolak akses ke situs yang dicurigai," katanya.
Namun demikian, The Associated Press menemukan setidaknya lima kuburan massal Rohingya.
Suu Kyi diperkirakan akan mengambil sikap pada Kamis malam untuk pidato terakhir sebelum sidang berakhir. Pengadilan kemungkinan akan mengeluarkan keputusan tentang permintaan Gambia untuk tindakan sementara relatif cepat, tetapi kasus utama mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan.