Bantul, Gatra.com - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/12).
Di pengukuhan yang digelar di gedung Sportorium UMY, Haedar membacakan pidato “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologi”. Ia mengawali pidatonya dengan memaparkan kondisi Indonesia dalam kurun terakhir yang seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”.
“Radikalisme dan khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Narasi waspada kaum “jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikalisasi meluas di ruang publik,” kata dia.
Menurut dia, isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.
Haedar mengakui radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata.
“Pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya yang Tuhan sendiri melarang tegas karena masuk dalam tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka bumi,” kata dia.
Menurut dia, memisahkan Islam dari ideologi dan politik tidaklah mudah dan tidaklah mungkin, karena agama ini mengandung aspek politik dalam ajarannya sebagai satu kesatuan muamalah atau bermasyarakat.
Namun, kata dia, pelekatan radikal serta radikalisme haruslah objektif untuk semua aspek dan kelompok agar tidak bias hanya ditujukan pada kelompok tertentu, khususnya dikaitkan dengan label Islam.
Haedar lantas menjabarkan ihwal pengertian radikalisme yang sebenarnya tak melulu dilakukan kelompk Islam, tapi dikonotasikan dan bias hanya untuk kelompok Islam. Haedar pun menawarkan solusi atas masalah radikalisme di Indonesia.
"Moderasi Keindonesiaan Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan agar berjalan ke depan sesuai dengan landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita nasional sebagaimana diletakkan para pendiri negara sebagaimana tekandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila, Agama, dan kebudayaan luhur bangsa yang berwatak moderat,” kata dia.
Menurut dia, jalan moderasi niscaya dipilih sebagai alternatif dari deradikalisasi untuk menghadapi segala bentuk radikalisme secara moderat. “Khusus bagi umat Islam Indonesia sangat penting terus menembangkan moderasi Islam dalam arti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kenyataan memang masih dijumpai keberagamaan yang ekstrem atau radikal-ekstrem di tubuh umat Islam, sehingga memerlukan moderasi.”
Haedar menjelaskan, dalam menghadapi radikalisme keagamaan seperti dalam sejumlah kasus teror bom dan serangan fisik, dapat ditempuh blocking-area di samping langkah penegakan hukum yang tegas agar tidak memperlebar area radikalisme ke ranah yang lebih luas yang sesungguhnya berada di zona moderat yang aman dan damai.
Dalam penutup pidatonya, Haedar mengingatkan, jika setiap hari isu radikalisme terus digulirkan, tanpa mengurangi usaha menangkal segala penyakit radikalisme, maka bumi Indonesia akan sesak-napas oleh polusi radikalisme. Apalagi jika isu radikalisme itu digelorakan dengan gaduh dan aura negatif.
“Pesan-pesan negatif itu semoga tidak menjadi realitas yang tercipta dan diciptakan menjadi nyata yang meluas oleh diri kita sendiri. Setidaknya tidak menciptakan 'sindroma radikalisme' atau 'skizofrenia radikalisme',” kata dia.
Haedar menjadi Guru Besar tetap ke-7 UMY, tapi jika dihitung dengan Guru Besar yang memiliki Nomor Induk Dosen Khusus UMY ia Guru Besar UMY ke-14.
Reporter: Kukuh Setyono