Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Donal Fariz menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait jadanya jeda waktu 5 tahun jadi persyaratan mantan terpidana mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan keputusan yang penting dan progresif.
Sebelumnya, Donal mengajukan permohonan serta meminta hakim konstitusi merevisi Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pada Rabu (11/12), hakim konstitusi Anwar Usman menyebut amar putusan bahwa permohonan pemohon dikabulkan sebagian.
Baik ICW dan Perludem, keduanya meminta hakim konstitusi untuk menganulir pasal jika tak ada ketentuan masa tunggu serta meminta MK memutuskan jeda terpidana korupsi yang ingin maju Pilkada yakni menjadi 10 tahun usai menjalani pidana pokok. Maka, dengan putusan yang diperoleh, hakim MK mengabulkan permohonan tersebut, dan menetapkan 5 tahun masa tunggu bagi para terpidana jika ingin kembali ke kontestasi Pilkada.
"Ini adalah keputusan yang penting. Tidak hanya berbicara soal pembersihan korupsi tapi juga berbicara tentang demokrasi. Kami menilai ini adalah putusan progresif," kata Donal.
Donal melanjutkan terdapat hal yang penting terkait putusan tersebut bahwa Mahkamah Konstitusi melihat secara empirik ketidakadaan batas waktu masa tunggu bagi mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah. Ketidakadaan waktu tersebut membuat para mantan pidana korupsi langsung mencalonkan diri dalam Pilkada.
"Yang terjadi adalah ketika selesai menjalani masa hukuman karena kasus korupsi, lalu terpilih kembali dan ditangkap lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi," ujar Donal.
Masa jeda tersebut didesain oleh Mahkamah Konstitusi agar kemudian memberikan waktu korektif bagi kandidat untuk mengevaluasi perbuatannya dan juga membatasi agar konstitusi demokrasi tidak langsung diisi oleh mantan terpidana tanpa masa tunggu.