Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pengajuan judicial review terhadap persyaratan mantan terpidana mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (11/12).
Pemohon adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta hakim konstitusi merevisi Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Keduanya meminta hakim konstitusi untuk menganulir pasal jika tak ada ketentuan masa tunggu serta meminta MK memutuskan jeda terpidana korupsi yang ingin maju Pilkada yakni menjadi 10 tahun usai menjalani pidana pokok.
Hakim Ketua Anwar Usman membacakan amar putusan bahwa permohonan pemohon dikabulkan sebagian. "Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar Putusan MK No. 56/PUU-XVII/2019.
Dalam amar putusannya, MK mengubah Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tentang syarat calon kepala daerah.
Frasa 'tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap atau bagi mantan narapidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana' dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Selanjutnya, Anwar mengatakan frasa tersebut harus dimaknai 'telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap'.
Sementara menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo, jangka waktu 5 tahun diberikan agar bekas terpidana bisa beradaptasi di tengah masyarakat dan menyadari perbuatannya. Jangka waktu tersebut, sambungnya, tetap memberikan jaminan bagi warga negara untuk dipilih dalam jabatan publik.
"Langkah demikian demi memberikan kepastian hukum dan kembalikan esensi pilkada untuk menghadirkan orang berintegritas," katanya.