Jakarta, Gatra.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai, peran saksi pelaku atau justice collaborator sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, peran saksi pelaku dalam penanganan beberapa kasus pidana seperti korupsi belum bisa berjalan optimal.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menuturkan peran saksi pelaku pada pengungkapan tindak pidana korupsi tidak hanya bertujuan agar saksi pelaku ini mendapatkan hak-haknya seperti pengurangan hukuman, pemisahan berkas, dan pemberian penghargaan. Namun, menjadi sarana pengembalian aset negara yang telah diambil dengan cara tidak sesuai aturan.
“Namun yang lebih penting lagi, peran saksi pelaku sangat vital untuk menguak tabir kasus korupsi yang sering mengalami kendala” ujar Edwin kepada Gatra.com, Senin (9/12).
Menurut Edwin, sepanjang pengamatan LPSK, berbagai mekanisme penerapan saksi pelaku yang telah disediakan guna pemberantasan tindak pidana korupsi sepertinya belum diterapkan maksimal. Penggunaan saksi pelaku dalam pengungkapan beberapa perkara belum terlihat hasilnya.
“Bahkan permohonan perlindungan sebagai saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi kepada LPSK cenderung memperlihatkan angka yang rendah” katanya.
Melihat data yang disampaikan oleh LPSK, serentang perjalanannya mulai tahun 2010 – 2019, terlindung LPSK yang berstatus sebagai saksi pelaku atau penerima perlakuan seperti saksi pelaku hanya berjumlah 15 orang.
Padahal dukungan dalam penegakan hukum terkait dengan saksi dan pelaku telah diatur jelas melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sejak tahun 2006 saksi pelaku ( justice collaborator ) ini telah diatur sebagai istilah baru di Indonesia melalui UU Nomor 13 Tahun 2006 Jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Edwin menambahkan, hadirnya UU No 31 Tahun 2014 telah menjadi peneguhan subjek baru yakni saksi pelaku dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, semua institusi yang terlibat sistem peradilan pidana menjadi terikat dan wajib melaksanakan beberapa norma yang diatur dalam UU tersebut.
“Seharusnya muatan pengaturan mengenai saksi pelaku yang ada pada aturan lain seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. Peraturan Bersama Tahun 2011 dan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur saksi pelaku yang bekerja sama tidak relevan untuk diterapkan, sepanjang aturan tersebut telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014. Dalam hal rumusan yang belum diatur dalam UU atau peraturan pelaksanaan maka masih bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan UU No 31 Tahun 2014” tutur Edwin
Edwin menjelaskan terkait pemberian penghargaan kepada saksi pelaku, dalam UU No. 31 Tahun 2014 Pasal 10 A ayat (4) dan (5) secara tegas menyebutkan, untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan pidana
“Hanya LPSK yang diberikan kewenangan oleh UU untuk memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam surat tuntutan kepada hakim, dan UU meminta kepada hakim agar memperhatikan rekomendasi dari LPSK. Begitu pun perihal mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lainnya, LPSK diberi kewenangan sesuai UU yang berlaku untuk memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM.” tegasnya.
Selanjutanya, Edwin menyinggung perlunya partisipasi yang besar dari individu dan semua pihak untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. LPSK mendorong masyarakat untuk tidak takut bersaksi dalam membongkar kasus kejahatan korupsi yang diketahuinya.
“Dalam sudut saksi pelaku yang ingin membongkar kasus korupsi misalnya, LPSK memandang pentingnya peran advokat/pengacara yang memegang idealisme tinggi untuk melakukan pendampingan hukum kepada saksi pelaku dalam sebuah perkara korupsi. Bila perlu dibentuk semacam Lembaga Bantuan Hukum khusus untuk mendampingi calon saksi pelaku agar dapat membongkar sebuah kasus tindak pidana korupsi yang tersebut," katanya.