Jakarta, Gatra.com - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Elbert Gani menilai penghidupan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam wacana amandemen UUD 1945 tak urgen. Menurutnya, GBHN justru menunjukkan inkonsistensi sistem presidensial yang telah diterapkan Indonesia.
Satu di antara poin wacana itu adalah mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Menurut Gani, hal itu bertentangan dengan sistem yang selama ini diterapkan di Indonesia.
"Terkait isu GBHN kami memiliki pandangan, pertama menjadikan MPR lembaga tertinggi negara lagi. Itu tidak konsisten dengan sistem presidensial yang kita pilih," ujar Gani dalam diskusi yang diselenggarakan CSIS di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
Lebih lanjut, Gani mengatakan ada dua argumen yang membuat GBHN tidak urgen. Yang pertama, kebutuhan rencana panjang dan menengah telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Yang kedua, adanya GBHN mereduksi inovasi dari seorang presiden. Sebab, pembangunan telah didesain dan ditetapkan dalam GBHN.
"Apabila ada GBHN mengakibatkan untuk mereduksi insentif presiden melakukan inovasi," ujar Gani
Sebelumnya, MPR periode 2014-2019 memberi rekomendasi untuk dilakukan amandemen terbatas UUD 1945 pada sisi menghidupkan kembali GBHN.