Jakarta, Gatra.com - Lembaga penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut argumentasi wacana Pilkada dikembalikan ke DPRD begitu lemah. Peneliti CSIS, Arya Fernandez membeberkan sedikitnya tiga bantahan mengapa Pilkada seharusnya tetap dilaksanakan secara langsung.
Argumentasi pertama soal biaya Pilkada langsung yang dianggap tinggi, sehingga untuk menekan biaya itu, Pilkada harus dikembalikan ke DPRD. Arya menyebut, biaya yang tinggi itu bukan disebabkan oleh sistem Pilkada, melainkan oleh perilaku kandidat yang maju.
"Misalnya kalau desain kampanyenya lebih terukur, menggunakan data publik tentu biaya yang digunakan untuk kampanye lebih murah," kata Arya saat ditemui di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
Arya menyebut masalah biaya terlihat pada proses pencalonan yang dinilai memakan ongkos politik yang tinggi. Ia menyebut, proses pencalonan bisa diperbaiki misalnya dengan menghilangkan mahar politik dan proses pencalonan dilakukan secara terbuka.
Arya juga membeberkan pemerintah turut mengeluarkan dana saksi melalui negara oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dana tersebut dikucurkan untuk membiayai saksi yang menghitung suara secara manual.
"Jadi, proses kita kan semakin transparan, data pemilu semakin digital, orang bisa mendapatkan data itu tidak lama setelah penghitungan suara. Artinya, kan bisa diakses dari dana itu, dia enggak perlu menggunakan dana saksi," Arya menjelaskan.
Argumentasi kedua ialah soal konflik. Pilkada secara langsung dinilai rentan menciptakan konflik sosial di masyarakat. Arya membantah argumentasi tersebut, sebab menurut data National Violence Monitoring System (NVMS) sejak reformasi sampai 2013, konflik yang terjadi pascareformasi itu secara umum adalah konflik sumber daya alam, bukan konflik politik.
"Kalau kita lihat trennya semenjak pilkada langsung serentak ini, 2015, 2016, 2018, tiga gelombang ini menunjukkan tren konfliknya semakin menurun sebenarnya. Penyelesaian konflik juga sudah terlembaga dengan baik. Misalnya konflik administrasi bisa (diselesaikan ke Bawaslu, konflik netralitas penyelenggara bisa ke BKPP, konflik sengketa hasil bisa ke MK," ujar Arya.
Argumentasi ketiga, yakni soal adanya polarisasi pasca Pilkada. Secara umum, Arya menyebut polarisasi akibat Pilkada hanya terjadi pada Pilkada DKI Jakarta saja. Sementara di daerah lain, Pilkada relatif aman.
"Orang pasca Pilkada bisa komunikasi lagi antarpendukung yang berbeda. Relatif enggak muncul (konflik) antarmassa yang terpolarisasi, itu kan enggak ada. Argumen untuk polarisasi tinggi itu juga enggak sepenuhnya benar, hanya di Jakarta," jelas dia.
Bahkan, lanjutnya, tingkat partisipasi publik di pilkada itu tinggi sekali,dibandingkan Pilpres 2009 dan Pilpres 2014. Partisipasi Pilkada 2018 bisa mencapai 73%. Arya membeberkan, masalah polarisasi yang disebabkan oleh calon yang sedikit itu bisa ditempuh dengan menurunkan syarat pencalonan, sehingga calon bisa banyak.
Atas tiga argumentasi itu, Arya menyebut wacana Pilkada kembali ke DPRD itu lemah. Bagi Arya, yang penting adalah perbaiki sistem politik untuk memperbaiki ekses negatif dari tingginya biaya politik, bukan menghilangkan hak-hak publik untuk memilih secara langsung.
"Tapi secara umum sebenarnya sudah ada ada perbaikan dari fasilitasi itu. Jadi poin utamanya adalah kalau sistem pencalonannya diperbaiki, misalnya pencalonan jadi transparan, itu dapat mengurangi biaya politik yang tinggi. Kalau proses (pencalonan) tanpa mahar, itu juga dapat memperbaiki (biaya pilkada)," ungkap Arya.