Terhitung Januari 2020, sistem pembayaran digital dengan platform Quick Response Indonesian Standard (QRIS) akan segera diberlakukan. Perlu percepatan transisi dan sosialisasi agar bisa diterapkan menyeluruh.
Jakarta, GATRAreview.com - Sukma, 32 tahun, seorang karyawan bank di Jakarta, memiliki sedikitnya empat aplikasi pembayaran dengan sistem quick response code (kode QR) di ponselnya. Mulai dari GoPay, OVO, LinkAja, dan TADA. Sukma mengaku menggunakan keempat aplikasi itu untuk keperluan berbedabeda. Mulai dari urusan ojek daring, membeli makanan dan minuman, hingga urusan belanja pakaian. Cara menggunakannya relatif mudah. Cukup pindai kode QR yang disediakan di gerai, secara otomatis uang berpindah tangan. “Enak, enggak perlu nyiapin uang cash banyak,” ucapnya.
Dari sekian kali penggunaan aplikasi pembayaran, menurut Sukma relatif tidak bermasalah. Kalaupun ada, biasanya karena masalah sinyal ponsel dan eror di mesin pembaca. Lagi pula, ada customer service yang siap membantu. Ia berharap, rencana pemerintah memberlakukan sistem pembayaran digital QRIS segera terwujud. Pasalnya, dengan sistem QRIS, pengguna kode QR cukup memiliki satu aplikasi saja untuk bertransaksi. “Jadi enggak perlu banyak-banyak aplikasi di HP,” katanya.
Hal serupa juga dirasakan Asep Somanhudi, pemilik kedai kopi di Kota Palembang. Hampir dua tahun berdiri, kedai kopi yang menyediakan pembayaran kode QR ini mengaku memudahkan pembelinya dalam bertransaksi. Pilihan sistem pembayaran disesuaikan dengan jenis kemudahan.
Menurut pengamatan Asep, yang paling aktif menggunakan kode QR adalah pembeli kalangan milenial. Mereka aktif mencari tahu perkembangan informasi seperti diskon, cashback, dan fitur lain yang ditawarkan aplikasi pembayaran nontunai. “Sejak awal kita sediakan QR untuk pembeli, karena memang itu permintaannya,” kata Asep kepada Tasmalinda dari Gatra review.
Sejak Juni tahun lalu, Asep menggunakan dua aplikasipembayaran, yakni GoPay dan OVO. Keduanya dipilih karena paling banyak ditanya pembeli. Alasan lainnya, persyaratan menggunakannya pun relatif mudah. Bahkan, seminggu terakhir ia menambah alternatif pembayaran lainnya menggunakan DANA. “Perbedaan pilihan, karena konsumen sudah tahu promo-promo yang diberikan,” katanya.
Pembayaran Universal
Setelah berbulan-bulan digodok, Bank Indonesia (BI) akhirnya meluncurkan QRIS. Standardisasi yang dasar hukumnya tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21 Tahun 2019 itu akan jadi acuan bagi dunia perbankan serta Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) pengguna sistem pembayaran kode QR. Aturan ini melengkapi aturan lain yang sebelumnya hadir, yakni aturan terkait sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan bahwa standardisasi kode QR uang elektronik menganut prinsip universal untuk seluruh kalangan masyarakat. Selain itu, kode QR dapat digunakan secara masif oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membeli makanan dan minuman, serta transportasi.
Sebelum secara resmi diluncurkan BI pada 17 Agustus lalu, QRIS harus melalui dua tahap percobaan. Pertama, pada September-November 2018. Kedua, pada April-Mei 2019. Kedua uji coba dilakukan untuk mengukur kesiapan teknis dan operasional. Setelahnya, QRIS akan melakukan transisi. Beberapa platform pembayaran, seperti aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik, atau mobile banking, punya waktu hingga akhir 2019 untuk melakukan penyesuaian.
“Siapa pun yang bertransaksi di Indonesia harus tunduk pada aturan penggunaan QRIS, baik pelaku domestik atau asing,” ujar Perry kepada Devi Anggraeni. Jika setelah masa penyesuaian habis, tetapi masih ada yang bertransaksi di luar penggunaan QRIS, akan ditertibkan.
Penggunaan QRIS, kata Perry, digunakan demi akselerasi ekonomi masyarakat secara luas, sesuai visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Visi tersebut, yakni mendorong perekonomian, mempercepat keuangan inklusif, serta memajukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selain itu, meningkatkan potensi transaksi digital yang masih terus berkembang.
Data Statistik Sistem Keuangan BI menunjukkan, jumlah kartu uang elektronik pada 2018 menembus 167 juta dengan nilai transaksi sebesar Rp47,199 triliun dari 2.923 juta transaksi. Angka ini meningkat dibandingkan 2016 lalu yang mencapai 34 juta kartu dengan nilai transaksi Rp5,263 triliun dari 536 juta transaksi.
Data perkembangan instrumen uang elektronik berbasis kartu dan server yang diterbitkan nonbank pun meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Jika pada 2015 ada 11 juta instrumen diterbitkan, per Juli 2019 meningkat drastis hingga 117 juta. Jika QRIS diberlakukan pada Januari 2020 mendatang, seluruh kode QR harus mengadopsi sistem tersebut. Respons perbankan dan PJSP sejauh ini sangat positif. “Saat peluncuran, 41 pelaku baik perbankan maupun PJSP, ikut mendukung QRIS menjadi satusatunya yang unggul,” kata Perry.
Deputi Gubernur BI, Sugeng, menambahkan informasi bahwa tahapan QRIS bertipe merchant presented mode (MPM) sudah ditetapkan. PJSP sedang melakukan transisi sistem, sebelum diimplementasikan secara nasional pada 1 Januari 2020. Dalam catatan BI, lebih dari 20 PJSP sudah mendapat persetujuan QRIS dan sedang bermigrasi, termasuk di sisi merchant.
Sosialisasi terus digalakkan di berbagai kota, baik melalui kantor perwakilan BI di wilayah maupun kegiatan skala nasional, seperti FesKaBI (Festival Edukasi BI), BI Talks, QRIS Goes to Merchant, dan sebagainya. Bahkan, kegiatan ke kampus yang diutamakan, beserta QRIS Goes to Merchant. “Kita sudah ada kegiatan FesKaBI ke Solo danLampung. Selain itu, ada BI Talks di Banjarmasin,” ucap Sugeng. Kegiatan selanjutnya dilaksanakan di Manado, Medan, Bali, Makassar, dan Surabaya, dalam rangka sosialisasi QRIS untuk pembayaran digital ala milenial.
Di Banjarmasin, misalnya, BI sudah ke pasar terapung dan Pasar Antasari. QRIS pun sudah merambah pasar tradisional. “Responsnya sangat positif. Sisi pedagang dan pengguna sudah mulai terbiasa, dan merasakan manfaat dari QRIS,” ujar Sugeng kepada Devi Anggraini dari Gatra review.
Sejauh ini, Sugeng mengatakan tidak ada kendala selama masa sosialisasi. Kegiatan masih sesuai jadwal dan secara paralel BI bersama industri sistem pembayaran sedang menyiapkan standar untuk metode customer presented mode (CPM) yang saat ini masuk tahap uji teknis.
Setelah secara resmi diberlakukan di Indonesia, kedepannya kerja sama akan dilakukan dengan beberapa negara lain untuk transaksi QR cross border outbond. Tujuannya, mendukung warga negara Indonesia bertransaksi dengan kode QR di luar negeri. Penyusunan ini berdasarkan standar internasional yang dikeluarkan EMVCo dengan interkoneksi bersifat open source.
“Sudah teruji keandalannya, berupa spesifikasi teknis dan operasional didukung berbagai SOP tentang mekanisme keamanan transaksi, mekanisme dispute resolution, serta mekanisme kliring dan sebagainya,” tutur Sugeng. Standar ini telah digunakan beberapa negara, seperti India, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan.
Belum Sepenuhnya Diterima UMKM
Toh, target BI mewajibkan seluruh penyedia jasa layanan pembayaran nontunai menggunakan QRIS pada 2020 mendatang diragukan sejumlah pihak. Rektor Perbanas Institute, Hermanto Siregar, pesimistis targetnitu bisa tercapai secara menyeluruh. “Sebagian belum sepenuhnya tercapai. Mungkin bisa dua pertiga, 60%-70% saja sudah bagus,” katanya kepada Syah Deva Ammurabi.
Hermanto menilai, Indonesia paling cepat menerapkan QRIS secara menyeluruh dalam waktu dua tahun atau 2021 mendatang. Dengan catatan, kondisi perekonomian sedang membaik. Setidaknya diperlukan dua hal bagi lembaga keuangan guna mempersiapkan diri menghadapi target BI. Pertama, infrastruktur sistem yang memadai. Kedua, sumber daya manusia. Keduanya membutuhkan investasi.
Meski demikian, Hermanto mengatakan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4 sudah siap melaksanakan QRIS. BUKU 1 dan 2 masih butuh waktu mempersiapkan diri. Platform e-commerce relatif lebih siap karena sudah beradaptasi.
Senada dengan Perbanas, Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, ragu hadirnya QRIS dapat 100% mempermudah UMKM. Bagi UMKM, standardisasi yang dibuat BI hanya memperbanyak cara pembayaran. “Untuk UMKM, sih, biasa-biasa saja dan tidak menguntungkan,” katanya.
Sebaliknya, kata Ikhsan, QRIS justru makin membebani UMKM. Pasalnya, setiap transaksi pembayaran dengan QRIS, omzet UMKM akan dipotong 0,7% dari setiap transaksi. Tarif tersebut lebih besar daripada menggunakan kartu debit di mesin EDC, yaitu sebesar 0,15%. “Ini akan menghambat migrasi ke kode QR,” ujarnya.
Diketahui, BI memang mengatur tarif potongan per transaksi atau merchant discount rate (MDR) dan dibebankan kepada penjual. MDR dengan sistem kartu debit, tarifnya 0,15% untuk transaksi sesama jaringan (on us) dan 1% untuk di luar jaringan (off us). Dengan beban MDR yang meningkat, Ikhsan memprediksi akan banyak UMKM yang meninggalkan sistem pembayaran berbasis kode QR.
Apa yang disampaikan Ikhsan bisa jadi ada benarnya. Andai sebuah produk dijual Rp2 juta, kemudian pembayaran menggunakan QRIS, maka biaya per transaksi dikenakan Rp14.000. Tentu jauh lebih efisien jika transaksi menggunakan kartu debit di mesin EDC yang rata-rata dikenakan biaya Rp3.000 per transaksi. “Nanti kalau pembeli tanya, boleh bayar pakai QRIS, enggak? Penjualnya bilang enggak bisa, kami belum pasang. Begitu nanti UMKM jawabnya,” katanya kepada Hendry Roris Sianturi.
Industri Pembayaran Optimis
Beberapa PJSP mengklaim siap dan mendukung penuh pemberlakuan QRIS. Head of Government Relations and Public Policy GoPay, Brigitta Ratih E Aryanti, menyatakan bahwa pihaknya siap mendukung implementasi kebijakan QRIS yang diinisiasi BI, sehingga dapat meningkatkan target 75% inklusi keuangan di Indonesia. Pemberlakuan QRIS, menurutnya akan mendorong peningkatan kualitas, daya saing, dan inovasi, tidak hanya pada rekan usaha besar tetapi juga sampai ke pedagang kecil serta mikro. “Kami melihat di situlah GoPay bisa banyak berperan, mengingat 90% dari rekan usaha merupakan UMKM,” ucap Ratih kepada Mahmuda Attar Husein.
Ia berharap, pemberlakuan QRIS bisa mendorong jumlah pengguna maupun frekuensi transaksi nontunai di masyarakat. Jika begitu, dampaknya tidak hanya meningkatkan efisiensi dalam perekonomian, tetapi juga mendorong pertumbuhan usaha-usaha, khususnya usaha mikro.
Hal ini sejalan dengan rencana BI memperluas penggunaan QRIS di pasar tradisional, sekolah, dan rumah ibadah. Penggantian kode QR yang telah dipasang akan dilakukan bertahap selama masa transisi. GoPay baru-baru ini meluncurkan Forum Pedagang Baik dengan melakukan pendampingan rekan usaha GoPay.
PJSP lain, LinkAja, sedang dalam proses memperbarui semua merchant menjadi QRIS yang ditargetkan selesai akhir tahun ini. Materi sosialisasi juga sedang dibahas di working group, yang disusun bersama pelaku industri sistem pembayaran. “Paralel kita sudah melakukan sosialisasi untuk merchant-merchant nasional,” kata Head Corporate Communication LinkAja, Putri Dianita, kepada Hanisar Achmad Fauzan.
Putri optimis dengan penerapan QRIS. Namun ada satu tantangan terbesar yang harus dilalui nanti, yaitu mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia. Hingga 2018, sekitar 76% transaksi di Indonesia, masih terjadi dalam bentuk tunai. Untuk mengubah kebiasaan ini, dibutuhkan trigger yang tidak hanya sekali, tetapi dilakukan terusmenerus secara konsisten.
Pola edukasi masyarakat Indonesia tentang uang elektronik perlu dikembangkan lagi. Hal ini diperlukan agar pola pemilihan masyarakat terhadap jenis uang elektronik tidak hanya didasari oleh insentif promosi yang bersifat jangka pendek, tetapi melihat kegunaan dari uang elektronik, aspek keamanan, dan user experience.
Menurut Putri, fungsi uang elektronik sejatinya untuk membantu tercapainya inklusi keuangan di Indonesia. Ini menjadi tugas bagi semua pemain uang elektronik, termasuk LinkAja, untuk mencapai masyarakat yang belum memiliki akses perbankan (unbanked) di seluruh Indonesia, tidak hanya di kota besar. “Kita tidak terlambat, tren perkembangan mobile payment di Indonesia makin positif setiap tahunnya,” ujarnya.
MDI Ventures dam Mandiri Sekuritas memperkirakan volume transaksi mobile payment sebesar US$16,4 miliar pada 2019. Angka itu setara dengan 2% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar US$888,6 miliar. Potensi pasar ini akan melonjak menjadi US$30 miliar atau setara Rp459 triliun pada 2020.