Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menduga Partai Golkar sudah bagi-bagi kekuasaan sebelum mengarah aklamasi untuk memenangkan calon petahana Airlangga Hartarto. Hal itu selaras dengan mundurnya penantang kuat Airlangga, Bambang Soesatyo atau Bamsoet, tiga jam sebelum Musyawarah Nasional (Munas) itu digelar.
Toto, sapaan karib pengamat politik itu, melihat hal tersebut sebagai kemajuan. Sebab pada Munas 2009 silam di Bali, pertarungannya cukup keras hingga pecah dan muncul partai baru, NasDem, yang dinahkodai Surya Paloh. Tak hanya berkaca pada Munas sebelumnya, Toto juga melihat kemunduran di Golkar saat Pemilu ini, yakni anjloknya suara di beberapa daerah.
Toto melihat kondisi Golkar yang cukup goyah itu akan berbahaya jika masih ada kubu dalam Golkar. Maka dari itu, dengan adanya 'penyatuan suara' yang mengarah pada aklamasi, Golkar diprediksi akan menuai hasil yang baik pada Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.
"Pertama, efeknya kalau buat Partai Golkar dalam konsolidasi untuk 270 Pilkada ke tahun depan. Kedua, juga pertarungan 2024 efeknya akan sangat positif. Tinggal muncul pertayaan, apa betul karena kebesaran jiwa dari para kandidat yang bertarung atau intervensi kekuasaan?" ujar dia saat ditemui di pembukaan Munas Golkar, Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Selasa (3/12) malam.
Toto menyebut, Golkar memang sering diidentikkan dengan kekuasan. Ia menduga ada kesepakatan dan kompromi yang terjadi di belakang panggung, yang mungkin, terkait pembagian kekuasaan. "Sebetulnya sudah terlihat bermula dengan adanya simbolisasi Bamsoet menjadi RI 5, tapi tidak berhenti sampai disitu, mungkin pada momen terakhir ada kesepakatan kepengurusan dan ditampungnya orang-orang yang mungkin di luar kekuasaan Airlangga untuk masuk DPP atau kepengurusan fraksi di DPR," papar dia.
Publik memang tidak mengetahui apa yang terjadi di belakang panggung Golkar. Namun suka atau tidak, lanjutnya, ketika bicara di panggung depan, secara normatif Golkar hanya berbicara soal jiwa negarawan dan kebesaran hati seorang Airlangga dan Bamsoet.
Kendati begitu, menurutnya kini Golkar harus fokus tak hanya pada simbolisasi politik saja, namun juga bagaimana kepengurusan itu bisa dibentuk. "Apa pun yang di belakang terjadi, tapi menurut saya paling penting bukan simbolisasi apa yang terjadi tiga hari ini saja dengan adanya aklamasi. Tapi pada saat kepengurusan dibentuk, saya berharap rekonsiliasi ini terjadi. Jangan sampai simbolisasi persatuan berpotensi ribut lagi pada masa pembentukan kepengurusan," tukasnya.