Yogyakarta, Gatra.com – Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah sejumlah nomenklatur kelembagaan atau istilah di pemerintahan daerah sesuai UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Paniradya Pati (Asisten Keistimewaan) Pemda DIY Benny Suharsono mengatakan hanya dua kabupaten yang siap melaksanakan perubahan itu, sedangkan tiga wilayah lain belum siap.
Saat ini dua kabupaten masih menyusun peraturan daerah dan Kota Yogyakarta tengah menanti penerapan di daerah lain. Hal ini dipaparkan Benny saat jumpa pers di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kepatihan, Kota Yogyakarta, Senin (2/12).
“Perubahan nomenklatur kelembagaan dari kecamatan sampai tingkat desa ini sesuai dengan amanat UU Keistimewaan yang dijabarkan langsung melalui Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2019,” jelasnya.
Pergub ini mengamanatkan, 64 kecamatan di kabupaten akan berubah nama menjadi kapanewon dan camat menjadi panewu. Sementara 14 kecamatan di Kota Yogyakarta menjadi kemantren dan dipimpin mantri pamong praja.
Perubahan istilah juga terjadi pada sekretaris kecamatan, yang disebut panewu anom di kabupaten dan akan disebut mantri anom di Kota Yogyakarta.
“Penyebutan desa akan diganti menjadi kalurahan dan kepala desa menjadi lurah, kemudian sekretaris desa menjadi carik. Demikian juga dengan jabatan di bawahnya sepetri urusan keuangan menjadi danarta, urusan tata usaha menjadi tata laksana,” jelasnya.
Benny menyatakan perubahaan nama ini tidak berdampak pada sistem administirasi pemerintahan, melainkan hanya untuk mengembalikan sistem pemerintahan asli ala DIY.
Sejak pergub tersebut diterbitkan pada 4 April 2019, dua kabupaten yaitu Kulonprogo dan Gunungkidul menyatakan siap melakukan perubahan dan ditargetkan akhir tahun ini sudah muncul perda di dua wilayah itu. Bantul menargetkan pada 2020 lahir perda perubahaan nomenklatur ini.
“Khusus Sleman, proses evaluasi memakan waktu panjang karena masih akan dibahas oleh DPRD periode 2019-2024. Tapi kita akan terus melakukan kordinasi akan bisa segera diwujudkan,” katanya.
Pemerhati sastra Jawa Agus Utantoro menjelaskan seyogyanya pergantian nama ini diikuti dengan pembenahan penulisan aksara Jawa. “Selama ini saya memperhatikan penulisan aksara Jawa disesuaikan dengan nama latinnya. Padahal ada aturan baku bagaimana menuliskan aksara Jawa yang benar,” katanya.
Agus juga meminta Pemda DIY untuk tidak hanya menggandeng akademisi sastra Jawa di UGM , tapi juga lembaga sastra di Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.