Home Gaya Hidup Desa Tampara Hadirkan Kawasan Ekowisata Mangrove

Desa Tampara Hadirkan Kawasan Ekowisata Mangrove

Wakatobi, Gatra.com-- Wahana rekreasi dan edukasi hadir di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Desa Tampara, Kecamatan Kaledupa Selatan, dengan diresmikannya kawasan ekowisata mangrove pada Rabu (27/11).

Hadirnya kawasan ekowisata mangrove di Desa Tampara ini didukung oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Taman Nasional Wakatobi, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan PT First State Investment Indonesia, melalui dana filantropi salah satu reksadananya yaitu First State IndoEquity Peka Fund yang secara aktif menyalurkan dana sosial sejak 2011.

Tidak hanya menikmati hamparan mangrove yang asri, pengunjung juga bisa mengenal lebih jauh ekosistem mangrove. Kawasan ekowisata mangrove di Desa Tampara ini dilengkapi jembatan titian, pusat informasi dan penjualan cinderamata hasil karya warga setempat. Selain itu juga ada menara pantau apung untuk melakukan wisata pemantauan burung serta fasilitas perahu jika pengunjung berminat menyusuri kawasan mangrove.

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting pada kawasan pesisir. Di banyak wilayah pesisir, masyarakat sangat bergantung pada jasa lingkungan yang disediakan oleh ekosistem mangrove.

“Ekosistem mangrove yang sehat mendukung produktivitas perikanan. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara optimal terkait mata pencaharian berkelanjutan dan inisiatif yang menghasilkan pendapatan, termasuk ekowisata dan kegiatan rekreasi lainnya,” ujar Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman, melalui rilis yang diterima Gatra.com, Senin (2/12).

Terletak di Pulau Kaledupa, bagian selatan Desa Tampara memiliki tutupan hutan mangrove yang rapat. Total luasnya 37,5 hektar, dengan 9 jenis mangrove. Bagi peminat wisata pengamatan burung, hutan mangrove di Desa Tampara adalah rumah bagi 33 spesies burung. Khusus pada vegetasi mangrove dapat ditemukan burung-burung pergam, kacamata, cabai, kepudang, dan elang. Selain itu, di jalur mangrove juga dapat ditemukan burung Penggunting-laut belang yang berstatus rentan, serta Gajahan timur dan Kedidi besar yang berstatus genting, terutama saat surut dan di bagian yang berlumpur (International Union for Conservation of Nature, 2019).

Dengan segenap potensi alamnya, Desa Tampara bersiap menjadi desa wisata.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Taman Nasional Wakatobi, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang selama ini telah mendampingi kami. Ke depan, tentunya kami masih membutuhkan banyak dukungan, termasuk pendampingan teknis terkait pengelolaan dan pengembangan ekowisata di desa ini,” ujar Kepala Desa Tampara Sirajudin.

Pariwisata di Indonesia saat ini sudah menjadi salah satu pilar perekonomian. Kekayaan alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata, sehingga pengelolaan menjadi kata kunci.

“Sebagai sebuah destinasi ekowisata baru, saya berharap kawasan ekowisata mangrove di Desa Tampara ini bisa dikelola secara profesional oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar hasil dan manfaatnya bisa berkelanjutan,” kata Camat Kaledupa Selatan La Salama.

Kabupaten Wakatobi kaya akan sumber daya alam, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang berpotensi sebagai daya tarik wisata, baik bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Namun, status Kabupaten Wakatobi yang juga sebagai Taman Nasional dengan luas 1.390.000 hektar tentunya menuntut perlakuan khusus dalam hal konservasi kawasan untuk menjaga kelestarian sumber daya alamnya.

“Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi. Oleh karenanya, dengan pendekatan wisata berkelanjutan dan kemitraan konservasi, akan menciptakan kegiatan wisata yang mendukung penghidupan berkelanjutan serta melindungi sumber daya alam, nilai tradisi, serta sosial budaya masyarakat,” ucap Kepala Seksi Wilayah II Taman Nasional Wakatobi La Fasa.

 

437

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR