Jakarta, Gatra.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, kasus pembobolan Bank DKI terjadi karena adanya kesalahan sistem atau program switching yang ada di dalam mesin ATM. Bukan karena lemahnya internal Bank DKI Jakarta.
"Bukan kelemahan internal tapi ada di vendor (penyedia mesin ATM), seperti tidak bisa baca coding. Saya minta itu diselesaikan dan diperbaiki, dan vendor bertanggung jawab, kebetulan ATM yang digunakan bukan dari Bank DKI, tapi bank lain," kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Slamet Edy Purnomo, saat ditemui di Gedung OJK, Jakarta, Jumat (29/11).
Lebih lanjut Edy menjelaskan, secara teknis jika seseorang mengambil atau menarik dana dari mesin ATM biasanya saldo penarik akan langsung terpotong. Begitupun dengan ketika seseorang melakukan kegiatan transfer dana lewat ATM tersebut menggunakan kartu yang diterbitkan oleh Bank DKI.
Namun, hal itu tidak terjadi dalam kasus Bank DKI. Karena ketika melakukan transasksi dengan ATM, saldo nasabah tidak terlihat berkurang. Sehingga, dalam posisi inilah, kemudian nasabah melakukan penarikan dan transfer dana sebanyak-banyaknya. "Jadi kalau biasanya ada transaksi di ATM, kan saldonya kurang, nah ini tidak. Jadi dimanfaatkan," jelas Edy.
Atas kesalahan itu, pihaknya akan meminta kepada para pemilik bank untuk lebih berhati-hati ke depannya. Salah catu caranya adalah dengan melakukan verifikasi dan uji coba terlebih dulu terhadap sistem yang mereka kembangkan.
"Kami sarankan ke bank setiap membangun produk dan layanan harus verifikasi dan uji dalam tim. Termasuk compliance dan risk management tanpa proses itu kami tidak akan setujui," ucap dia.
Sementara itu, kasus pembobolan ATM Bank DKI ini telah terjadi sejak Mei-Agustus 2019. Pembobolan itu dilakukan oleh 41 orang yang di antaranya adalah Satpol PP. Akibat pembobolan ini, pihak Bank DKI tercatat mengalami kerugian hingga Rp50 miliar.