Jakarta, Gatra.com - Pimpinan KPK, Laode Muhammad Syarif mengaku bahwa pihaknya memiliki kelemahan dalam menangani kasus korupsi yang semakin canggih. Pengakuan itu Laode sampaikan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR, Rabu (27/7) 2019.
Awalnya, Laode secara terang-terangan menyebut bahwa pekerjaan rumah KPK adalah sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai. Syarat yang diberikan KPK begitu tinggi, sehingga hanya sedikit orang yang bisa menduduki jabatan di KPK. "Misalnya kami butuh jaksa itu sekurang-kurangnya 120-an lah idealnya. Tetapi setelah tes, kalau dikirim 60, paling 10 yang lulus. Dan itu bukan KPK, kita hanya memberikan syarat diseleksi oleh tim independen," kata dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (27/11).
Selain kurangnya tenaga, Laoede menyebut hubungan KPK dengan penegak hukum yang lain seperti kepolisian dan jaksa masih kurang. Hal itu berdampak pada lamanya penyelesaian kasus. "Mengapa perlu ditingkatkan, karena kami merasa kan ada fungsi supervisi dan koordinasi yang dilakukan KPK, tetapi tidak semua yang kami koordinasikan ada kasus yang ditangani teman itu segera selesai juga," papar dia.
Laode menyampaikan, banyak pihak yang menganggap koordinasi antarlembaga itu mudah dilakukan. Padahal pada praktiknya, KPK beberapa kali merasa kurang diperhatikan oleh lembaga lain dalam menjalankan tugasnya.
Kelemahan lainnya adalah dari segi pencegahan yang berhubungan dengan pembangunan sistem. Laode menjelaskan, masing-masing kementerian sudah membuat sistem sendiri. Ia justru menyayangkan jika komando itu tak keluar dari satu pintu. "Kalau misalnya Presiden mau streamline itu tentukan satu, saya pikir itu akan lebih bagus. Kalau online single submition menjadi lima sistem, jangan salahkan investor enggak mau, dan juga bukan over regulasi kadang. Karena memang yang dibuat pemerintah beda-beda dan itu komando ada di eksekutif," tukasnya.
Laode menandaskan, dengan kondisi SDM yang kurang, akan keteteran menghadapi tindak pidana korupsi yang semakin canggih akibat majunya teknologi. Ia meminta pemerintah juga libatkan kerja sama dengan pihak luar negeri untuk membantu KPK menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi di periode mendatang.
"Kelemahan yang ada di KPK itu soal sumber daya manusia, korupsi itu jadi canggih, sangat canggih, bahkan kadang kita tidak bisa deteksi karena akibat teknologi maju. Oke, butuh regenerasi penyelidik dan penyidik ke depan. Khususnya, semua kasus korupsi yang besar pasti ada komponen luar negeri dan di KPK, SDM yang bisa berhubungan dengan pihak luar sedikit," terang dia.
Ia berharap di periode selanjutnya, lima komisioner KPK yang baru bisa didukung, terlebih para direktur penyelidikan, penindakan, dalam menghadapi kasus korupsi yang besar. "Jadi, oke secondline komisioner yang akan datang, deputi para direktur itu harus paham betul modus (korupsi). Saya kasih contoh (kasus korupsi) e-KTP yang kami tahu itu (berhubungan) lima negara Indonesia, Singapura, Mauritius, India, Amerika. Di mana bukti yang paling banyak kita dapat di dua negara, Amerika dan Singapura," tandasnya.