Jakarta, Gatra.com - Komisi III DPR mempertanyakan kasus korupsi Mantan Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino) yang terkatung-katung sejak 2015 lalu. DPR menduga terkatungnya kasus itu karena KPK kekurangan alat bukti untuk menahan RJ Lino meski orang itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pimpinan KPK, Laode Muhammad Syarif membantah pandangan DPR itu. Ia menegaskan, KPK sudah mengantongi alat bukti kasus RJ Lino.
"Pimpinan sebelumnya sudah menetapkan Pak RJ Lino itu belum ada dua alat bukti? Saya katakan sudah ada. Tetapi ketika Jaksa mau masuk ke pengadilan dia harus menghitung secara pasti berapa yang paling eksak kerugian negaranya, disitulah kita minta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," kata dia saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama komisi III DPR di Gedung DPR, Senayan, Rabu (27/11).
Namun masalahnya, BPKP dan juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru mau menghitung keruguan negara ketika sudah ditentukan ada perbuatan melawan hukum. Laode menyebut, selama hampir dua tahun sejak Lino ditetapkan sebagai tersangka, BPKP enggan menghitungnya.
"Saya kurang tahu apa yang terjadi. Setelah kita masuk, kita putuskan, kita pindahkan ke BPK. Setelah kita pindah ke BPK, ini ada Pak Panca nih, sampai hampir bertahun-tahun di sana. Tapi selalu hanya untuk menghitung," jelasnya.
Laode pun membeberkan alasan mengapa penghitungan kerugian di BPK pun mangkrak. Pertama, karena tidak adanya harga pembanding barang yang dikorupsikan. "Karena dokumen dari Chna tidak ada. Betul. Waktu itu saya dengan Pak Agus sudah di Beijing mau minta itu di-cancel pertemuannya," terang dia.
Kedua, Laode blak-blakan bahwa otoritas China tidak kooperatif. Akhirnya, KPK pun minta ahli untuk menghitung komponen dan membandingkannya dengan harga di pasaran. "Itu pun setelah kita guide pak, kita guide. Jadi jangan anggap KPK itu tidak melakukan upaya maksimum. Bahkan ada satu tim forensik kami pergi, pretelin itu semuanya ke tempat lain. Akhirnya kami mendapat ahli," tegas dia.
Adapun penetapan tersangka Lino dilakukan oleh direktur penyelidikan KPK setelah mendapatkan dua alat bukti. Namun kendalanya ada di jaksa. "Dengan adanya putusan MK, akhirnya sekarang itu, kita 75 persen yakin ini mereka tinggal hitung. Jadi memang ada beda. Itu penjelasan jujur dari KPK, enggak ada yang kami tutupi dan ini terus terang, ketika rapat terakhir itu, seperti ada kerikil di dalam kaus kaki kita ini, RJ Lino," tandasnya.
Sebelumnya, RJ Lino ditetapkan menjadi tersangka sejak 18 Desember 2015 yang lalu. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Quay Container Crane (QCC) pada tahun 2010. Terhitung, lebih dari tiga tahun Lino menyandang status tersangka. Sampai saat ini, ia masih belum ditahan oleh komisi antirasuah.
Perkaranya, RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenangnya saat menjadi Dirut Pelindo II. Ia dituduh memperkaya diri sendiri, orang lain, dan atau korporasi dengan menunjuk langsung perusahaan asal Tiongkok, Wuxi Huadong Heavy Machinery, untuk pengadaan tiga unit QCC itu.
Atas perbuatannya, dia disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.