Jakarta, Gatra.com - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PL), Wiendra Waworuntu menegaskan, obat antiretroviral (ARV) bagi penyintas HIV atau ODHA yang kedaluwarsa sudah ditarik.
"Seluruh obat kedaluwarsa sudah ditarik. Tidak ada obat kedaluwarsa dalam layanan kesehatan sampai dengan hari ini. Semua obat sudah kami tarik dan masalah obat kedaluwarsa itu bisa dicek. Sudah tidak ada lagi. Sebelum enam bulan pun sudah kami tarik," ujarnya saat ditemui di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu (27/11).
Wiendra mengatakan, Beberapa obat ARV yang kedaluwarsa ini disebabkan banyaknya pengguna yang mulai beralih dari Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz (TLE) menjadi Fixed Dose Combination (FDC).
"Yang pakai FDC itu ada sebanyak 70% karena kan tiga macam. Sedangkan yang pakai TLE hanya 30%. Makanya, persediaan FDC menjadi terbatas. Untuk yang TLE mangkrak dan kedaluwarsa. FDC diketahui lebih mudah dipakai karena bersifat single doses. Oleh karena itu, konsumen yang sudah terbiasa dengan FDC akan meninggalkan TLE," tuturnya.
Tidak hanya karena banyaknya penyintas HIV/AIDS yang putus obat. Kedaluwarsa ini diduga karena banyak pasien yang tidak mau memakai obat ARV apabila masa tenggatnya kurang dari dua tahun.
"Kalau di lapangan, banyak pasien yang tidak mau pakai ARV jika masa kedaluwarsanya masih beberapa bulan lagi. Ada ARV yang masih 6 bulan atau satu tahun lagi sudah tidak mau. Ya tetap pingin yang dua tahun ke depan. Padahal kan kalau sudah mendekati kedaluwarsa, biasa akan ditarik oleh Kemenkes," kata Ketua Panel Ahli (Panli) HIV/AIDS dan PIMS, dr. Sjamsurizal.
Menurut laporan terbaru dari Kemenkes, jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai bulan Juni 2019 ada sebanyak 115.750 orang. Sementara itu, jumlah ODHA yang gagal follow up (putus obat) sebanyak 55.508 orang (23%).