Jakarta, Gatra.com - Pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi kepada pemerintah AS untuk memperpanjang pengenaan Generalized System Preferences (GSP) terhadap 3.572 pos tarif produk asal Indonesia. Sejak April 2018, AS melakukan country review pemberian GSP terhadap Indonesia.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri berpendapat pengenaan GSP tidak berdampak signifikan bagi ekspor Indonesia karena hanya berkontribusi terhadap 12 persen ekspor Indonesia ke AS.
Baca Juga: Didukung Importir AS, RI Minta Trump Hapus Bea Masuk Baja
Berdasarkan catatan US International Trade Commission, ekspor Indonesia ke AS yang difasilitasi oleh GSP hanya US$1,68 miliar dari total ekspor sebesar US$13,27 miliar. "Kalau GSP kita dihapuskan, dampaknya terhadap ekspor kita kecil, hanya US$70-120 juta," jelasnya ketika dihubungi Gatra.com, Senin (25/11).
Meskipun demikian, dia berpendapat pencabutan GSP produk asal Indonesia oleh AS akan berdampak buruk bagi Indonesia. "Masalahnya satu lagi, bukan GSP-nya tapi sinyal ke pasar dunia yang negatif sifatnya kalau diputus. Kalau Indoneaia GSP-nya diputuskan, itu berita negatif yang dikirimkan ke dunia," terangnya.
Apabila hal itu terjadi, Rizal mewanti-wanti adanya hukuman dari pasar keuangan dunia sebagaimana yang terjadi pada Turki yang turun 10 persen dalam sepekan. "Bukan nilainya sendiri, tapi pesannya," ucapnya.
Baca Juga: Wamendag : AS Beri Sinyal Positif Perpanjang GSP Indonesia
Direktur Perundingan Bilateral, Kementerian Perdagangan, Ni Made Ayu Marthini mengatakan Indonesia baru memanfaatkan 836 dari 3.572 pos tarif yang berhak untuk mendapatkan GSP.
Made menambahkan pemberlakuan GSP menguntung kedua belah pihak. AS diuntungkan dengan biaya bahan baku dan bahan konsumsi yang lebih murah, sedangkan Indonesia diuntungkan dengan keringanan bea masuk. "Mereka jadi dapat produk lebih murah. Win-win. Ini kerja sama strategis yang menguntungkan dua pihak," ungkapnya.