Home Hukum Di Balik Proyek Sentra PKL Malioboro Rp62 Miliar

Di Balik Proyek Sentra PKL Malioboro Rp62 Miliar

Yogyakarta, Gatra.com - Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, di gedung eks Bioskop Indra di kawasan niaga dan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, menjadi proyek paling berisiko di DIY 2018 versi Indonesia Corruption Watch.

Proyek senilai total Rp62 miliar ini dibangun di lahan sengketa dan bagian paling besarnya ditawarkan melalui tender cepat yang dinilai kurang tepat. Proyek ini juga dibayangi praktik monopoli dan pemborosan anggaran negara.

Gedung tiga lantai dengan sisi depan berupa dinding kaca dan ornamen gerbang enam pilar itu berdiri menjulang. Namun, di depan bangunan megah itu, saat disambangi pada Jumat (27/9), pasir, semen, dan perkakas bangunan masih tersisa dan berantakan.

Tak ada aktivitas proyek kala itu. Suasana di area gedung di ujung selatan Jalan Malioboro ini kontras dengan area sekitarnya yang ramai karena jadi tempat parkir dan lapak pedagang, juga oleh lalu lalang wisatawan. Kawasan proyek itu dibatasi bedeng seng dengan sekitarnya, meski gedung megah tiga lantai itu terlihat dari jalan Malioboro.

Meski tanpa aktivitas berarti, dua orang tiba-tiba mendekati Gatra.com saat memasuki area proyek itu. “Mau apa ke sini? Tidak boleh foto-foto!” hardik salah satunya, pria usia 40-an, yang bilang bernama Kantong. “Harus izin pemda dulu. Ini masih sengketa,” kata pria beranting dan bertato yang menyebut dirinya sebagai ‘sekuriti’ lokasi itu.

Gedung tiga lantai dan satu semi-basement ini merupakan bangunan utama dari tempat relokasi pedagang kaki lima yang disiapkan di Malioboro. Dalam perencanaan proyek ini, lantai dasar gedung seluas 1.205 meter persegi akan digunakan untuk menampung penjual makanan kering.

Lantai 1 dan 2 selebar 1007 dan 992 meter persegi masing-masing untuk penjaja suvenir dan pakaian. Semi-basement 1.112 meter persegi punya kapasitas 37 gerobak dan 32 sepeda motor. Selain gedung utama ini, sejumlah bangunan lain dibangun di lokasi ini, seperti pusat kuliner dua lantai seluas 2.240 meter persegi, panggung pertunjukan, dan air mancur.

Saat itu, pembangunan gedung utama telah rampung, meski belum difungsikan, dan menyisakan pengerjaan lanskap. Sebanyak 396 pedagang terpilih di Malioboro rencananya bakal dipindah ke sini. Tempat relokasi PKL ini merupakan proyek Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, lewat Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM).

Proyek ini terbagi tiga tahap bernilai Rp44 miliar, Rp14,5 miliar, dan Rp2,6 miliar sehingga totalnya sekitar Rp62 miliar. Jumlah itu belum termasuk ‘tali asih’ pada PKL, yang semula menempati area proyek sebelum dibangun gedung baru, senilai Rp18 miliar. Alhasil total anggaran yang digelontorkan Pemda DIY untuk proyek tempat relokasi PKL di eks biskop Indra ini tak kurang Rp80 miliar.

Sesuai aplikasi opentender.net yang digagas Indonesia Corruption Watch (ICW), tahap I proyek itu yang memiliki nilai proyek paling besar, yakni Rp44 miliar, memiliki skor potensi penyimpangan tertinggi di DIY pada 2018. Secara nasional, proyek ini adalah proyek konstruksi paling berisiko kelima di tahun itu.

Namun bukan hanya gedung, lokasi berdiri proyek juga menjadi polemik. Sentra relokasi PKL itu dibangun di lahan bekas Bioskop Indra yang menjadi objek sengketa hukum.

Bioskop ini berdiri pada 1916 dengan nama Al Hambra, lalu menggunakan nama Indra sebagai akronim dari Indonesia Raya. Kala itu, Indra pun menjadi tujuan mencari hiburan kaum elit saat itu dan bertahan hingga dekade 1970-an seiring masa keemasan layar perak Indonesia.

Perusahaan bioskop ini, NV Javasche Bioscoop en Bouw Maatschaappij, milik warga keturunan Belanda, Emile Viktor Helant Muller, dan istrinya, Carolina Wilhelmina (binti Saridja), orang Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bioskop Indra disebut tak terkena aturan nasionalisasi seperti banyak aset Belanda kala itu. Lahan di sekitar gedung bioskop seluas 7425 meter persegi yang mengantungi hak sebagai tanah bekas Recht Van Eigendom Verponding Nomor 504, surat ukur nomor 109 tanggal 13 Juni 1919, itu pun disebut menjadi milik pribadi.

Atas dasar itulah, sejumlah pihak yang mengklaim sebagai ahli waris Bioskop Indra melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta.

Para penggugat adalah Sukrisno Wibowo, Sita Kristiana, Rama Dewantara, Bhayu Prawira, dan Ayunda Rachmi. Adapun tergugatnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala BPN Kota Yogyakarta.

Objek sengketa gugatan itu adalah keputusan pada 2014 soal penjualan rumah/tanah dan pemberian hak pengelolaan atas nama Pemda DIY atas tanah di Yogyakarta, serta sertifikat hak pengelolaan di lahan Indra seluas 5170 meter persegi atas nama pemegang hak Pemda DIY yang diterbitkan BPN Kota Yogyakarta pada 2014.

Di tengah sengketa itu, pada medio 2017, Pemda DIY mengukur lahan di eks bioskop Indra ini dan menyatakan rencana pembangunan gedung. Akhir Maret 2018, Pemda DIY merobohkan gedung Indra sebagai langkah awal proyek.

Namun pada Juli 2018, seluruh gugatan Sukrisno dkk dikabulkan. Pemda DIY kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya. Hasilnya, PT TUN menguatkan putusan PTUN dan artinya Pemda DIY kalah lagi. Terakhir, Pemda DIY mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Toh, pada medio April 2019, MA tak mengabulkan kasasi itu. Keputusan ini menguatkan keputusan sebelumnya yang membatalkan kepemilikan sertifikat Pemda DIY di lahan tersebut. Keputusan MA ini telah berkekuatan hukum tetap, meski hingga kini belum ditindaklanjuti.

Selama proses sengketa lahan ini, bangunan baru telah dikerjakan hingga berdiri di tanah tersebut. Saat hasil kasasi keluar dan memenangkan ahli waris, dua tahap proyek gedung telah rampung dan menyisakan pengerjaan lanskap yang berlangsung hingga kini.

Sukrisno, yang berada di Jakarta, tak merespons saat dimintai tanggapan soal kemenangan pihaknya atas Pemda DIY di MA hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Kuasa hukum Sukrisno, Erick S Paat, juga enggan memberi pernyataan. “Kalau aku belum ada kuasa untuk memberi keterangan,” ujar dia via aplikasi pesan, Jumat (20/9) lalu.

Adik Sukrisno, Riyanti Suryatiningsih (61), menyatakan pihak keluarga akan menanti langkah hukum selanjutnya dari pihak tergugat yang telah kalah. “Kami menunggu saja. Kalau mau PK (peninjauan kembali), silakan PK. Sampai (batas) waktunya selesai, gimana hasilnya,” ujar dia saat ditemui.

Pihak keluarga mengisyaratkan pembelian lahan sengketa itu oleh Pemda DIY untuk menuntaskan sengketa. “Silakan kalau pemda mau beli. Kami maunya dari dulu begitu, tapi kami malah enggak dianggap. Pemda malah memberi tali asih ke orang yang cuma numpang di tanah itu,” kata Riyanti.

Namun Pemda DIY, melalui Dinas Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral, meneruskan proyek yang jadi bagian dari revitalisasi Malioboro. Pembangunan proyek di sentra PKL baru ini terbagi dalam tiga tahap, yakni tahap I bangunan utama, tahap II berupa bangunan pendukung, dan tahap III penataan lanskap.

Sesuai data di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, pengadaan fisik gedung utama merupakan proyek tahap I dengan nilai terbesar yakni Rp43,9 miliar. Tender dibuat pada 19 Februari 2018. Dengan hanya satu peserta tender, proyek ini dimenangi PT Matra Karya yang harus melaksanakan pembangunan mulai 8 Maret 2018. Proyek berlangsung selama 270 hari atau sembilan bulan, dan berakhir pada 3 Desember 2018.

Nilai pagu paket itu Rp 44,055 miliar, sedangkan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 44,054 miliar. Melalui metode tender cepat, PT Matra Karya dinyatakan sebagai satu-satunya penawar proyek sehingga memenangi proyek ini senilai Rp 43,994 miliar. Dengan nilai tersebut, efisiensi proyek dari dana keistimewaan dalam APBD DIY ini tak sampai Rp60 juta.

Merujuk opentender.net ICW, Matra Karya mengerjakan banyak proyek di DIY. Sejak 2014 mereka mengerjakan dua paket proyek senilai Rp5,9 miliar, kemudian empat paket proyek Rp10,47 miliar pada 2015, enam proyek Rp39,8 miliar di 2016. Tahun 2017 mereka dapat delapan proyek Rp69,3 miliar dan pada 2018 ada 5 proyek senilai Rp109 miliar.

Adapun proyek sentra PKL tahap II mencakup pembangunan tiga bangunan lain di lahan eks Bioskop Indra dengan nilai Rp14,5 miliar. Proyek ini memiliki pagu Rp15,146 miliar dan HPS Rp15,122 miliar. Sama seperti tahap I, proyek ini dibiayai dana keistimewaan dalam APBD DIY.

Rancangan dan pembangunan proyek tempat relokasi PKL Malioboro, Yogyakarta. (GATRA/Arif Hernawan /tss)

Tender dibuat pada 6 Juli. Dari 33 peserta lelang, pemenang tahap I PT Matra Karya juga ikut mendaftar di proyek ini, tapi tak ikut menawar harga. Hanya tiga kontraktor yang menawarkan harga. Dua perusahaan menawar proyek ini dengan nilai Rp12,5 miliar dan Rp14,4 miliar, tapi dinyatakan tak dapat melengkapi dokumen.

Adapun PT Ardi Tekindo Perkasa, yang menawar dengan harga tertinggi, yakni Rp14,5 miliar, menjadi pemenangnya. Mengacu data di LPSE, proyek dikerjakan selama 135 hari, 6 Agustus hingga 19 Desember 2018.

Di LPSE, PT Ardi Tekindo Perkasa tercatat beralamat di Jalan Gayungsari, Surabaya, Jawa Timur. Namun, sesuai data di opentender.net ICW, perusahaan itu kerap memenangi proyek di DIY. Selama 2013-2018, kontraktor ini mengerjakan 12 proyek di DIY dengan nilai tak kurang Rp175 miliar.

Tahap III proyek sentra PKL Malioboro berupa penataan lanskap. Tender proyek ini dibuat pada 30 April 2019. Dimulai pada 20 Juni 2019, proyek direncanakan berlangsung selama 150 hari atau harus kelarpada 16 November 2019. Namun hingga akhir Oktober 2019, tahap III proyek ini belum rampung.

Dengan pagu Rp3 miliar, dan HPS Rp2,996 miliar, proyek ini dibiayai APBD DIY. Dari 63 peserta tender, hanya satu perusahaan yang mengajukan penawaran, sehingga menjadi pemenang proyek ini, yakni CV Setiabudi Jaya Perkasa, dengan nilai Rp2,6 miliar.

Di LPSE DIY, CV ini disebut beralamat di Jalan Imogiri Timur, Wonokromo, Pleret, Bantul, DIY. Salah satu komanditer CV ini adalah pengusaha muda, Muhamad Lutfi Setiabudi. Lutfi juga tercatat sebagai Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, pemenang proyek tahap II.

Dari tiga tahap proyek sentra PKL Malioboro ini, Pemda DIY menganggarkan Rp44 miliar, Rp14,5 miliar, dan Rp2,6 miliar sehingga totalnya sekitar Rp62 miliar. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan proyek tahap I senilai Rp44 miliar memiliki risiko tertinggi di DIY dan menjadi proyek konstruksi paling berisiko kelima di tingkat nasional sesuai sistem opentender.net rancangan mereka.

Melalui metode tender cepat, PT Matra Karya dinyatakan sebagai satu-satunya penawar sehingga memenangi proyek senilai Rp 43,994 miliar. ICW menyatakan proyek berisiko berdasarkan nilai proyek beserta efisiensinya, dan partisipasi tender. Nilai proyeknya besar, tapi partisipasi pesertanya minim. Selisih antara harga perkiraan sendiri (HPS) dengan nilai kontrak tipis atau tidak efisien.

Untuk proyek dengan nilai besar Rp44 miliar, tender tahap I sentra PKL Malioboro minim partisipasi. Gara-garanya, proyek ini ditawarkan melalui metode tender cepat. Tender ini memungkinkan proses lelang berlangsung lebih cepat, 7-10 hari, dan tanpa penilaian administrasi, kualifikasi, dan teknis. Metode ini juga tak mengenal proses sanggah banding yang makan waktu lama. Dengan tender ini, proyek yang dikerjakan harus berupa bangunan sederhana.

Kepala Bagian Layanan Pengadaan Biro Pengembangan Infrastuktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan Sekretariat Daerah DIY Cahyo Widayat menyatakan lelang cepat memanfaatkan Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP). Menurut Cahyo, perusahaan yang memenuhi syarat secara otomatis akan diundang oleh sistem tanpa diketahui oleh pihak lain, termasuk pihaknya.

Adapun metode lelang cepat diusulkan di rencana umum pengadaan oleh Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM). Usulan metode itu lantas dibahas oleh kelompok kerja (pokja) proyek.

Pokja ini juga memasukkan kriteria penyedia di proyek itu, sehingga sistem mengundang penyedia secara otomatis. “Evaluasinya di perbandingan harga. Menang harga dulu, baru diundang untuk pembuktian kualifikasi dari dokumen mereka,” ujar Cahyo.

Ketua Pokja proyek tahap I sentra PKL di eks Bioskop Indra, Muhammad Fathurrahman, menyatakan metode lelang cepat adalah hasil pembahasan pokja, bukan keputusan pribadinya. Menurut Fathur, tak ada yang salah dengan sistem lelang cepat. Ia juga menyebut tak tahu perusahaan yang memenangi proyek senilai Rp44 miliar itu.

Fathur berkata, kriteria untuk peserta tender cepat bersifat umum. “Lelang cepat pilihan metode saja. Metode ini malah fair karena tak mengunci satu penyedia,” kata Fathur, saat ditemui di Bina Marga Dinas PU DIY, tempat tugasnya saat itu, medio Agustus lalu.

Menurut dia, tender cepat dipilih mengingat proyek tahap I sentra PKL menggunakan dana keistimewaan (danais). Danais khusus diperoleh DIY sebagai konsekuensi Undang-undang Keistimewaan DIY. “Waktu itu awal danais. Segera ada serapan, segera rampung. Kalau tersendat, danais satu DIY tersendat,” ujarnya.

Apalagi lokasi proyek ini di pusat Kota Yogyakarta yang amat padat untuk niaga dan wisata. Untuk itu, persiapan pembangunan, seperti bongkar muat alat dan material, digelar di malam hari saat kawasan itu sepi. Alasan lain, klaim Fathur, tender ini sesuai dengan instruksi percepatan pembangunan infrastruktur Presiden Joko Widodo.

Menurut dia, pokja tak membahas ketentuan tender cepat khusus untuk proyek bangunan sederhana dan peserta proyek ini yang minim. Namun setelah itu memang mucul pandangan negatif dari pihak luar atas proyek tahap I itu.

Kondisi itu yang membuat proyek tahap II menggunakan tender biasa. “Banyak argumen negatif (dengan tender cepat). Kami terkesan salah. Kami juga enggak masalah pakai lelang apa aja,” ujar Fathur tanpa mau menjelaskan sisi negatif tender cepat itu.

Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUP-ESDM DIY Arief Azazie Zain bilang tak paham alasan proyek tahap I tempat relokasi PKL di eks Bioskop Indra ditawarkan lewat lelang cepat. “Tapi pembangunannya setahu saya lebih cepat,” ujar dia.

Hal itu mengingat area Jalan Malioboro saat ini sudah amat padat. Untuk itu, kawasan di sekitar Malioboro pun dimanfaatkan secara fungsional, terutama untuk lokasi parkir dan PKL. Lahan eks Indra pun dipilih untuk tempat relokasi PKL. Dengan begitu, Malioboro dapat menjadi jalan khusus pedestrian dan mengembalikan nilainya sebagai bagian sumbu filosofis DIY. “Proyek ini untuk mengurangi beban Malioboro,” ujar Arief.

Menurut dia, jika mengacu Peraturan Menteri PU Nomor 22 tahun 2018, yang mengatur bahwa tinggi gedung lebih dari dua lantai dan lebih dari 500 meter persegi bukanlah bangunan sederhana, sentra PKL baru di Malioboro itu bukan bangunan sederhana, seperti salah satu syarat tender cepat.

Apalagi bangunan ini menerapkan konsep bangunan hijau. Gedung tiga lantai ini mampu memanen air hujan dan mengolah air limbah untuk menyiram tanaman. Selain itu, ada ventilasi silang yang membuat sirkulasi udara lebih lancar.

Arief tak menampik bahwa gedung ini fasilitas publik reguler pertama di DIY yang didirikan dengan konsep eco-building. “Bangunan ini mengefisienkan AC dan listrik,” kata dia, medio Agustus lalu.

Menurut dia, empat gedung di sentra PKL anyar ini sudah jadi. Akhir tahun ini target penataan lanskap, berupa perkerasan lantai luar dan vegetasi, selesai. Ia menjelaskan, secara teknis, bangunan diusulkan Dinas PUP-ESDM DIY sesuai aspek filosofi dan fungsi Malioboro. “Kalau sudah ada penyedia, kami mengendalikan pengerjaannya dari segi waktu, mutu, dan biaya,” ujarnya.

Kepala Seksi Keterangan Ahli Barang dan Jasa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Mita Astari Yatnanti menjelaskan lelang cepat dimungkinkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 dan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 tahun 2015.

Mita menegaskan, tender cepat digunakan untuk proyek bangunan sederhana. “Metode pemilihan penyedia tak perlu penilaian kualifikasi, juga evaluasi penawaran administrasi dan teknis. Jadi agak dipertanyakan kalau (tender cepat) untuk pekerjaan yang tidak sederhana,” ujar Mita.

LKPP berpatokan pada ketentuan bahwa lelang cepat dilakukan pada bangunan sederhana. Substansi metode ini pada produk, bukan pada cepatnya pengerjaan proyek. LKPP pun menyatakan kategori bangunan sederhana atau bukan dapat berdasarkan pertimbangan pakar.

Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Sipil Universitas Gadjah Mada Ashar Saputra menegaskan bahwa jika tak memiliki syarat tertentu atau fungsi khusus, sebuah gedung akan dikategorikan sederhana. “Kalau tidak sederhana itu misalnya ada keperluan khusus, seperti gedung hijau. Proses perhitungan bangunan hijau itu juga tak sederhana,” ujar Ashar.

Selain tender cepat yang dinilai tak tepat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi catatan atas proyek ini. Dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemda DIY 2017 tertanggal 25 Mei 2018 juga menyebut lahan eks Indra sebagai “aset tetap tanah dalam proses penyelesaian sengketa”.

Hasil pemeriksaan pada 2018 atas pembangunan tempat relokasi PKL juga menyatakan BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan pada proyek tahap I dan II. Dalam salinan laporan hasil pemeriksaan 2018 yang diperoleh Gatra.com, kekurangan volume itu senilai Rp444 juta. Jumlah itu terdiri dari Rp27 juta di proyek tahap I dan Rp417 juta di tahap II.

Kekurangan Rp27 juta tersebut untuk pengerjaan bore pile atau fondasi tabung di proyek tahap I yang dimenangi PT Matra Karya lewat tender cepat. Di data Kementerian Hukum dan HAM, PT Matra Karya beralamat di Jalan Kaliurang KM.7 Nomor 38 RT05/35 Ngaglik, Sleman. Saat ditelusuri ke sejumlah lokasi yang kemungkinan alamat tersebut, kantor perusahaan itu tak ditemukan.

Di laman LPSE DIY, perusahaan ini disebut berkantor di Jl. Palagan Tentara Pelajar RT/RW 005/035 Jongkang, Sariharjo, Sleman. Saat alamat ini disambangi, hanya ada plang papan nama ‘MK’ di sebuah rumah. Perusahaan itu disebut warga sudah pindah setahun lalu dan meninggalkan plang nama itu.

PT Matra Karya juga disebut berkantor di Jalan Panembahan di kawasan dalam benteng Keraton Yogyakarta. Plang nama perusahaan itu ditemukan tak jauh dari jalan itu, tepatnya di Jalan Mangunnegaran Kidul. Namun, pada medio September 2019, kantor itu sudah kosong. Warga sekitar menyebut Matra Karya sudah pindah ke Bantul, sebulan lewat.

Kantor baru PT Matra Karya ditemukan di Jalan Ateka, Sewon, Bantul. Di ruang tamu kantor ini, terpasang empat foto gedung-gedung yang digarap perusahaan ini. Saat ditemui, pihak PT Matra Karya menyatakan tak ada masalah pada proyek sentra PKL anyar di Malioboro yang mereka kerjakan itu. Staf Project Officer PT Matra Karya, Lisa Heratami, berkata proyek itu kelar dengan lancar. “Sudah clear,” kata dia, Kamis (26/9).

Lisa tak menampik bahwa BPK memeriksa proyek itu dan menemukan kekurangan volume pada pekerjaan mereka. Namun, kata dia, temuan semacam itu lumrah. “Sebenarnya penyusutan beton itu wajar kalau di konstruksi. Mungkin itu yang dimaksud kurang volume. Tapi itu tidak mengurangi kualitas bangunan,“ ujar Lisa.

Apalagi, kata dia, nilai kekurangan pekerjaan itu telah dikembalikan. Lisa juga menyatakan tidak tahu proses PT Matra Karya mengikuti dan memenangi lelang cepat tahap I proyek tempat relokasi PKL eks Bioskop Indra. “(Tender) Itu di pemda. Kami (proyeknya) kualifikasi menengah. Sudah diserahterimakan juga dan tak ada masalah,” kata dia kepada Gatra.com.

Adapun kekurangan volume di proyek tahap II untuk sejumlah pengerjaan PT Ardi Tekindo Perkasase dengan nilai lebih besar, hingga mencapai Rp417 juta. Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, perusahaan yang menggarap proyek sentra PKL tahap II, Muhammad Lutfi Setiabudi, mengatakan, pihaknya telah mengembalikan uang terkait temuan BPK. "Kami sudah mengembalikan uang itu," ujarnya.

Lutfi juga tercatat sebagai komanditer di CV Setiabudi Jaya Perkasa yang memenangi proyek tahap III, sehingga proyek ini diduga dimonopoli segelintir pihak. Mengenai posisinya itu, Lutfi menyatakan dirinya tak lagi menjadi pengurus CV tersebut. Ia mengakui, ia pernah masuk sebagai pengurus di CV itu untuk membantu temannya yang memiliki perusahaan tersebut.

Namun, Lutfi mengulangi bahwa ia sudah keluar dari CV Setiabudi Jaya Perkasa. Meski bentuk usahanya CV, Lutfi berkata, keputusan dirinya keluar dari CV itu sudah disahkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). "Jadi saya sudah tidak di perusahaan itu," katanya.

PT Putra Bintang Abadi Group, yang turut menjadi peserta lelang proyek tahap II proyek ini, juga pernah diundang untuk ikut tender cepat proyek terminal VVIP Bandar Udara Adi Soetjipto pada 2018,kendati tak lolos. Pemimpin perusahaan itu, Bhima Bhakti Nusantara, berkata, baik lewat lelang cepat maupun tender biasa, proyek konstruksi tetap rawan dimainkan.

“Modusnya, menggunakan kekuasaan dan menekan, karena kedekatan dengan kepala dinas, ULP (Unit Layanan Pengadaan), atau orang berpengaruh yang minta proyek,” kata Bhima yang juga tak memungkiri adanya pemanfaatan koneksi bisnis dan politik atas praktik semacam itu.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengingatkan bahwa pengadaan barang dan jasa, termasuk dalam proyek konstruksi punya peluang dimenangkan lewat persekongkolan. Praktik jamak ditempuh sejumlah perusahaan yang terafiliasi atau terhubung oleh para pengurus dan pemiliknya.

Kepala Kantor Wilayah IV KPPU Dendy Rakhmad Sutrisno menyebut ada larangan pelaku usaha bersekongkol memenangi tender yang mengakibatkan persaingan tidak sehat. “Afiliasi di antara peserta tender tak selalu salah tapi jadi trigger, pintu masuk, dan berpotensi munculnya persekongkolan,” ujar dia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Laits Abied menyatakan proyek-proyek konstruksi besar berpotensi dimonopoli oleh segelintir pihak, termasuk jika sejumlah perusahaan pemenang proyek memiliki kaitan pemilik dan bermodal besar.

“Jika kontraktor lain sampai tidak bisa masuk ke suatu proyek, itu monopoli. Dampak buruknya, hak dan kesempatan perusahaan lain, terutama usaha kecil, hilang,” ujar Abied, di Yogyakarta, Jumat (25/10).

ICW mengakui, praktik sejumlah perusahaan terkait atau terafiliasi terutama karena kepemilikan dan atau kepemimpinan oleh orang yang sama memang belum tentu melanggar hukum, seperti ketika perusahaan-perusahaan itu mengikuti tahapan berbeda di satu proyek yang sama. “Makanya perlu ada aturan itu. Pedoman praktis harus dibikin. Aturannya harus lebih tegas dan praktis,” kata dia.

Atas sejumlah polemik proyek ini, Sekretaris Daerah Pemda DIY saat itu, Gatot Saptadi, menyatakan proyek ini jalan terus. Ia mengakui bahwa nilai kekurangan volume di dua tahap proyek itu, yakni Rp27 juta dan Rp417 juta, tergolong besar. Menurut dia, kontraktor proyek sudah mengembalikan kekurangan tersebut.

Meski pekerjaannya kurang, Pemda DIY tak memasukkan dua perusahaan itu ke daftar hitam karena tak ada perintah dari BPK. “Tapi kami tidak sampai mem-blacklist (penyedia proyek). Kami hanya mengikuti BPK,” ujar Gatot saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/9).

Menurut dia, pemeriksaan BPK di sentra PKL Malioboro hanya menelisik kekurangan kerja. Pemeriksaan tidak sampai melihat kualitas komponen bangunan, termasuk yang digarap oleh pemenang tender cepat. “Saya sendiri belum pernah masuk ke sana,” ujar dia yan pensiun sejak Selasa (1/10).

Gatot berkata, sengketa hukum tidak berpengaruh pada cepat-tidaknya tender dan pengerjaan proyek itu. Atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan sertifikat lahan, Pemda DIY tengah menyiapkan peninjauan kembali (PK), bahkan membuka peluang membeli tanah itu ke pihak pengklaim ahli waris.

Menurut Gatot, gugatan tersebut mengenai proses terbitnya setifikat ke BPN. “Kami memegang sertifikatnya. Belum dibatalkan, berati masih sah. Perkara MA sudah memutuskan, BPN mau cabut atau enggak. Toh, kalau dicabut, status tanah tidak tahu punya siapa. Ya, punya negara,” tutur Gatot.

Menurutnya, pengerjaan proyek tahap I lewat lelang cepat semata-mata karena aturan membolehkan. Apalagi kebutuhan penyediaan tempat PKL untuk mengurangi beban Malioboro, kata dia, mendesak. “Kami bermain dengan waktu,” ujarnya.

Namun, Gatot mengakui pengerjaan proyek melalui tender cepat punya potensi penyimpangan mengingat nilai proyek amat besar, sedangkan lelangnya minim kompetisi. “Risikonya tinggi,” ujar dia.

Untuk itu, saat ini Pemda DIY tak lagi menggunakan mekanisme lelang cepat di proyek konstruksi. Menurut Gatot, selain sentra PKL ini, ada satu proyek di DIY yang melalui lelang cepat, yakni proyek terkait revitalisasi Jalan Malioboro. “Toh, lelang biasa juga tidak lama, 1,5 bulan, dan lebih kompetitif,” kata dia.

Gatra.com telah berupaya mendapatkan dokumen pengadaan proyek tempat relokasi PKL di eks Bioskop Indra ke sejumlah pihak terkait proyek ini, terutama di Pemda DIY. Langkah ini untuk mengetahui lebih gamblang perencanaan dan pengadaan hingga evaluasi proyek itu, beserta segenap pihak yang terlibat pembangunannya.

Sayangnya, dokumen ini tak bisa diakses karena Pemda DIY berdalih memasukkan dokumen itu sebagai informasi rahasia yang dikecualikan untuk publik. Mengenai hal ini, ICW menjelaskan informasi soal pengadaan barang dan jasa adalah informasi terbuka jika mengacu pada UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Standar Layanan Informasi Publik.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menjelaskan, pengadaan barang dan jasa dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana jika melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. “Kalau ada pasal di (dokumen) pengadaan yang dilanggar, akan terpenuhi unsur melawan hukum,” kata Zen, sapaan akrabnya.

Zen melihat, proyek senilai Rp62 miliar ini mengalami inefisiensi atau pemborosan yang memiliki risiko dalam hukum keperdataan atau administrasi. Selain menguntungkan pihak lain yakni kontraktor, proyek ini berpotensi merugikan negara jika putusan MA, yang membatalkan sertifikat lahan proyek milik Pemda DIY, dieksekusi.

Jika untuk menuntaskan sengketa hukum itu lahan proyek harus dibeli, Pemda DIY juga harus mengucurkan dana lagi di luar proyek Rp62 miliar. Apalagi pada 2013 Pemda DIY telah menganggarkan dana ‘tali asih’ Rp18 miliar.

Dana ‘pembebasan lahan’ eks Bioskop Indra ini dinilai salah sasaran karena diberikan ke sejumlah PKL yang menempati atau menyewa lahan itu, bukan ke pihak ahli waris. Enam pihak--dua orang di antaranya disebut telah meninggal--menerima dana itu, berkisar Rp474 juta hingga Rp4,9 miliar dengan total sekitar Rp13 miliar.

Dengan banyaknya alokasi dana, Pemda DIY bisa rugi dua kali di proyek sentra PKL baru di bekas Bioskop Indra, Malioboro, ini. “Ini kerugian negara bertingkat, di proyeknya dan pembebasan lahannya,” ujar Zen saat ditemui di kantor Pukat UGM, Rabu (2/10).

1786