Jakarta, Gatra.com – Ketatnya likuiditas perbankan, menghambat ekspansi kredit. Gencarnya penerbitan Surat Berharga Negara ritel oleh pemerintah, ikut menghambat aliran dana ke perbankan.
***
Presiden Jokowi Widodo pernah memarahi para bankir awal 2018 lalu di Istana Negara. Penyebabnya karena kredit perbankan cuma tumbuh satu digit di 2017, yaitu 8,24% yoy. Angka ini jauh dari target sebesar 12%.
Jokowi menilai para bankir lebih banyak main aman, daripada berani mengambil risiko. Padahal dengan menggenjot kredit, pertumbuhan ekonomi bisa terkerek. “Risiko yang paling gawat adalah, kalau tidak berani mengambil risiko,” kata Jokowi ketika itu.
Tanda-tanda pertumbuhan kredit satu digit di 2019 kembali muncul. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menurunkan prediksi pertumbuhan kredit tahun ini. Tadinya OJK yakin kredit bisa tumbuh di antara 9%-11% tahun ini. Belakangan OJK merevisinya menjadi 8%-10%. Jauh dari target awal, sebesar 12%.
Bank Indonesia (BI) juga memproyeksi pertumbuhan kredit di 2019 sebesar 8%. Padahal sejak Juni-Oktober 2019, BI terus menurunkan suku bunga acuan hingga 1%. Toh, kredit hanya tumbuh 8,59% di Agustus 2019 dan anjlok di September 2019 yaitu sebesar, 7,89%. Jika prediksi BI ini benar, itu artinya pertumbuhan kredit 2019 masih lebih rendah dari 2017 tadi.
BI sebenarnya sudah melonggarkan beberapa kebijakan moneter untuk mendukung target pertumbuhan kredit. Selain menurunkan suku bunga acuan, BI juga merelaksasi Giro Wajib Minimum (GWM) untuk perbankan.
Per 1 Juli 2019, BI menurunkan GWM sebesar 50 basis poin (bps). Yang tadinya GWM bank konvensional 6,5% turun menjadi 6%, sedangkan GWM syariah, turun dari 5% menjadi 4,5%. tujuannya, agar bank mendapat likuditas tambahan. Sayang, kebijakan ini belum bisa mengangkat pertumbuhan.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, semenarik apapun penawaran, jika permintaan lesu tetap saja kredit sulit tumbuh. “Kredit belum meningkat pesat karena didorong oleh belum kuatnya permintaan kredit dari sisi korporasi," ujarnya di Gedung BI, Kamis lalu.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, ada beberapa faktor penyebab loyonya pertumbuhan kredit. Pertama, tekanan pada sisi likuiditas bank.
Per Agustus 2019, loan to deposito ratio (LDR) bank tercatat di 94,6%. Rasio tersebut, menandakan ruang ekspansi kredit menjadi sangat terbatas. Hal ini juga mengindikasikan bahwa relaksasi GWM perbankan kurang nendang.
Menurut Bhima, perang bunga antar pemerintah dan perbankan ikut andil mengetatkan likuiditas bank. Maklum, pemerintah begitu agresif menerbitkan SBN denominasi rupiah dengan bunga menarik, yakni 6%-7%. Sementara bunga deposito di kisaran 5%-6%. “(SBN) menyedot likuiditas dalam negeri karena deposan mengalihkan dana ke surat utang pemerintah,” katanya kepada Gatra.com.
Faktor kedua, Bhima menilai konsolidasi bank masih berjalan lambat. Akibatnya, meskipun suku bunga acuan sudah turun empat kali, tetapi tidak berpengaruh siginifikan terhadap penurunan bunga kredit. “Transmisi bunga acuan BI ke bunga kredit butuh waktu 4-5 bulan bahkan lebih,” katanya.
Faktor ketiga adalah naiknya kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan di beberapa sektor. Bhima mencontohkan, NPL di sektor perikanan tumbuh hingga 203% yoy. Tadinya NPL Agustus 2018 hanya 2,27%, meningkat menjadi 5,82% per Agustus 2019. “Naik signifikan,” katanya.
Lalu, kredit macet di sektor hotel dan restoran tumbuh 32%. Tadinya NPL di sektor ini sebesar 4,89% di Agustus 2018, melonjak menjadi 6,06% di Agustus 2019. “Akhirnya membuat bank lebih selektif memilih calon debitur,” ujarnya.
Faktor terakhir, yaitu adanya indikasi resesi global. “Ini membuat bank ketakutan ekspansi kreditnya,” katanya.
Agar pertumbuhan kredit tahun depan mencapai target 13%, kata Bhima, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mensinkronkan kebijakan moneter dan fiskal. “BI dan Kemenkeu harus sering duduk bersama membahas strategi pembiayaan APBN agar tidak menyedot likuiditas domestik,” katanya.
Kedua, pemerintah harus mengerem penyedotan dana investor dengan mengobral surat utang negara ritel. Jika tidak ingin aliran dana ke perbankan semakin menipis. “Crowding out ini harus distop, dengan banyak strategi,” ujarnya.
Ketiga, BI perlu meneruskan tren pelonggaran GWM. Meskipun tidak instan menggenjot kredit, tetapi paling tidak likuiditas bank bisa meningkat.
Menurut Bhima, tahun 2020, pertumbuhan kredit akan ditopang dari industri pakaian jadi, pengadaan air dan listrik, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan. “Sektor ini memiliki rata-rata pertumbuhan kredit di atas 10%-15% yoy,” katanya.
Bhima menerangkan, pakaian jadi mendapat manfaat dari perang dagang AS-China khususnya yang berorientasi ekspor. Sedangkan, peningkatan permintaan kredit di pengadaan listrik dan air disebabkan adanya peningkatan proyek-proyek strategi pemerintah ataupun BUMN.
Di sektor jasa kesehatan, kata Bhima, akan banyak rumah sakit yang membutuhkan suntikan pembiayaan baru. Ini buntut dari pencairan klaim BPJS kesehatan yang sering terlambat. Terakhir sektor jasa pendidikan, menurut Bhima, prospeknya masih positif. “Seiring tumbuhnya kelas menengah baru dan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan vokasi,” ujarnya.