Jakarta, Gatra.com - Usulan tentang penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, kini tengah ramai diperbincangkanmasyarakat penjuru negeri. Pro dan kontra terus saja bermunculan karena wacana tersebut.
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun pun mengusulkan dua hal untuk dijadikan jalan tengah terkait masalah yang ditimbulkan oleh wacana itu. Dua usulan itu adalah, presiden hanya boleh menjabat satu periode dengan lama waktu enam sampai tujuh tahun, tanpa dapat dipilih kembali. Atau bisa tetap dua periode, namun tidak dipilih berturut-turut.
"Nah soal desain ke depannya menurut saya kita harus sungguh-sungguh memikirkan tentang dua usulan ini, yaitu masa jabatan satu peiode saja tapi dengan durasi enam sampai tujuh tahun, atau boleh lebih dari satu periode tetapi tidak berturut-turut," kata Refly dalam acara Crosschek, di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Ahad (24/11).
Lebih lanjut pihaknya menjelaskan, dua hal yang dia usulkan itu memiliki dua keuntungan. Pertama, dengan lama masa jabatan ditambah, presiden yang menjabat dapat fokus dengan program kerjanya. Sedangkan untuk usulan kedua, menurut Refly, akan menghilangkan inkumben dalam pemilihan presiden selanjutnya.
"Sehingga kita mencapai dua hal, dua keuntungan, yaitu presiden yang menjabat bisa berkonsentrasi kepada masa jabatannya, tanpa diganggu ingin dipilih kembali. Kedua, kita tidak akan memiliki inkumben di dalam pemilihan presiden yang sebenarnya dalam governance pemilu kita yang masih banyak masalah ini, potensial terjadi abuse of power menggunakan set aparatur dan sebagainya, resource negara, dan lain sebagainya," jelas dia.
Refly menambahkan, selama ini masa pemerintahan presiden cenderung tidak efektif di awal masa jabatan. Sebab, awal masa jabatan sama artinya dengan masa penyesuaian hingga perubahan nomenklatur kementerian.
Selain itu, di dua tahun terakhir periode pertamanya, Refly menyebut presiden biasanya mulai disibukkan dengan kampanye untuk peridoe kedua. Sehingga banyak program yang tidak berjalan dengan baik.
"Lalu 2,5 tahun kerja, tapi kalau saya lihat karena jadwal kampanye panjang dua tahun terakhir sudah sibuk bagaimana re-election, sehingga sadar tak sadar, baik Istana maupun follower-nya, penasihat-penasihatnya, akan mengarahkan program yang populis bisa membuat elektabilitasnya bertambah," tutur dia.
"Itu hal yang jamak terjadi, tidak hanya Pak Jokowi, tapi juga terjadi di SBY, Megawati. Jadi kalau kita masih begitu, masih ada potensi abuse of power dalam sistem elektoralnya, kemudian kampanye yang terlalu lama," imbuh Refly.