Jakarta, Gatra.com - Berawal dari aplikasi kencan, dua orang lansia di London bertemu di sebuah restoran dan berkencan layaknya muda-mudi. Keduanya, Roy Courtnay (Ian McKellen) dan Betty McLeish (Helen Miren) mengaku sebagai duda dan janda yang sudah ditinggal wafat pasangannya.
Kedua orang itu akhirnya banyak bercerita soal kehidupannya. Betty, yang mengaku seorang pensiunan pengajar dan memiliki harta dari warisan mendiang suaminya, membuat Courtnay terpikat, tepatnya untuk menguras hartanya.
Courtnay memang terobsesi dengan uang, ia sendiri merupakan pemain investasi bodong. Banyak usaha yang dilakukan oleh Courtnay untuk membuat dirinya seakan jatuh cinta dan menyayangi Betty. Mereka bahkan sudah hidup dalam satu rumah hingga berlibur bersama ke Jerman.
Baca Juga : Terminator Dark Fate: Laga Seru dengan Cerita Klise
Baca Juga : Resensi Film Once Upon a Time in Hollywood
Akhirnya, ia berusaha membuat Betty untuk turut menginvestasikan seluruh hartanya kepada akuntan yang juga temannya dalam investasi ilegal itu. Meyakinkan Betty untuk jatuh ke pelukannya, bahkan menyerahkan hartanya, tidaklah mudah. Sebab mereka selalu dihalangi oleh pria yang disebut cucu Betty, yakni Steven (Russel Stovey).
Akan tetapi, usaha Courtnay untuk berpura-pura sayang kepada Betty terpatahkan. Courtney tak bisa menampik jika dirinya ternyata benar-benar menyayangi Betty, terlebih saat perempuan itu diketahui memiliki penyakit stroke ringan. Ia pun merawat Betty secara tulus.
Perjalanan hubungan keduanya mengantar pada satu kenyataan yang tak pernah dibayangkan oleh Courtnay si penipu ulung: skenario balas dendam yang sudah dipersiapkan Betty selama 60 tahun. Courtnay berakhir bak pesakitan dalam ruang rawat di sebuah rumah sakit.
Sebagai film yang menceritakan kisah penipu, sudah barang tentu The Good Liar menyuguhkan jalan cerita yang tak pernah ditebak oleh penontonnya. Sedikit demi sedikit fakta yang dikeluarkan, meski minor, mampu membuat penonton terkecoh.
The Good Liar bisa dibilang sebagai film yang cukup kompleks karena banyak peristiwa yang disembunyikan. Satu hal yang terbaik dari film ini adalah kentalnya nilai moral yang digambarkan melalui aksi balas dendam Betty. Penggambaran Betty sebagai perempuan yang melawan sangatlah berhasil.
Namun, yang menjadi catatan adalah banyak peristiwa atau konflik yang diceritakan terlalu cepat. Padahal, konflik tersebut cukup kompleks dan lebih menarik untuk diceritakan lebih detil. Penonton seakan tak diberi kesempatan untuk turut 'pusing' menganalisis konflik tersebut.
Beberapa adegan bahkan tampak seperti sinetron. Pemain tiba-tiba muncul di suatu tempat tanpa diceritakan dahulu proses sebelumnya, sehingga film ini terkesan terlalu buru-buru untuk diselesaikan.
Secara penokohan, Ian McKellen cukup berhasil memerankan Courtnay si penipu tua yang menyebalkan. Perubahan emosi Courtnay terlihat dengan baik saat ia benar-benar sayang kepada Betty yang sakit. Kendati begitu, menjelang akhir film, Courtnay bisa terlihat tetap sadis terhadap Betty.
Sementara itu, Helen juga mampu menggambarkan sosok Betty sebagai perempuan yang tenang dan cerdas. Sebagai pasangan, chemistry keduanya cukup terbangun dengan baik.
Film besutan Bill Condon ini tayang di Indonesia sejak Kamis, (21/11), namun sudah lebih dulu tayang di Amerika pada Jumat (15/11) lalu. Film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama, karangan Nicholas Searle.