Home Ekonomi Perajin Industri Kok di Tegal Kesulitan Regenerasi

Perajin Industri Kok di Tegal Kesulitan Regenerasi

Tegal, Gatra.com - Industri pembuatan shuttlecock atau kok di Kota Tegal, Jawa Tengah masih menggeliat di tengah sulitnya regenerasi perajin. Tidak hanya industri besar, kendala serupa juga dihadapi industri rumahan.

Salah satu pemilik usaha pembuatan kok rumahan di Kelurahan Debong Lor, Kecamatan Tegal Selatan, Sumarno (43), mengatakan, pesanan kok dari sejumlah daerah masih tinggi.

"Pesanan sampai sekarang masih jalan. Dari Jakarta, Bandung. Pernah juga Sumatera. Rata-rata digunakan untuk turnamen-turnamen bulutangkis lokal," kata Sumarno kepada Gatra.com, Sabtu (23/11).

Dalam sehari, Sumarno memproduksi pesanan pembuatan kok yang menggunakan bahan baku bulu mentok atau itik sebanyak 40 slop. Satu slop berisi 12 butir kok. Untuk memenuhi pesanan, ia mempekerjakan 12 karyawan atau perajin.

"Pembuatannya dari nol. Dari mulai mencuci bulu terus disortir, dipon (dipotong), dijahit, dilem, sampai jadi dan dikirim," ujarnya.

Menurut Sumarno, para perajin yang bekerja padanya sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Usianya berkisar 25-50 tahun. Pengerjaan ada yang dilakukan di rumah Sumarno, ada yang dibawa pulang ke rumah masing-masing perajin dan baru disetorkan setelah jadi.

"Jumlah karyawan yang ada sebenarnya masih kurang. Nyari karyawan susah sekarang, terutama yang muda. Mereka larinya ke pabrik dan bangunan. Sehingga kapasitas produksi juga tidak bisa dinaikan padahal bisa kalau dinaikan karena pesanan juga masih banyak," ungkap Sumarno.

Kesulitan regenerasi perajin tersebut menjadi kendala usaha Sumarno. Padahal, kok produksinya yang memiliki merk Baik tidak hanya untuk memenuhi pesanan dari dalam negeri, tapi juga sudah pernah diekspor ke India.

"Pernah ada pesanan dari India sebanyak 100 slop. Tapi karena waktu itu belum mampu mengirim langsung ke luar negeri, jadi lewat pemesan yang di Jakarta," ujar pria yang sudah menggeluti usaha pembuatan kok sejak 2001 ini.

Untuk mensiasati kendala kurangnya perajin, saat pesanan meningkat Sumarno menggunakan bahan baku yang sudah setengah jadi agar bisa memenuhi pesanan. "Nyari bahan baku yang sudah setengah jadi. Misalnya bulu mentoknya sudah dicuci dan disortir," ucapnya.

Salah satu perajin kok yang bekerja pada Sumarno, Yuli (40) mengaku sudah tiga tahun bekerja membuat kok. Ibu rumah tangga itu mengerjakan bagian menjahit benang kok dengan upah Rp200 per minggu. "Upahnya buat tambah-tambah penghasilan," tuturnya.

Kendala kurangnya perajin juga dihadapi industri kok besar. Pemilik Sinar Mutiara, salah satu produsen kok besar di Kota Tegal, Rudi Hartono Siswanto mengatakan, perajin yang dipekerjakan perusahaannya untuk memenuhi pesanan pembuatan kok kebanyakan sudah berusia tua.

"Regenarasinya sulit. Kebanyakan (karyawan) orang-orang lama. Ibu-ibu rumah tangga. Kalau anak muda sekarang susah dan kurang telaten juga," ujarnya, Sabtu (23/11).

Rudi menyebut, pesanan produksi kok dari sejumlah daerah masih bagus. Bahkan sempat mengalami kenaikan saat Asian Games 2018 digelar.

"Sebelum Asian Games permintaan sempat sepi. Terus naik karena pengaruh siaran langsung Asian Games dan waktu itu booming Jonathan Christi. Setelah Asian Games, permintaan relatif stabil," ujarnya.

Saat berlangsung Asian Games, ungkap Rudi, Sinar Mutiara yang mulai operasional pada 1983 memproduksi kok sebanyak 150-200 tabung per hari. "Sebelum Asian Games, produksi kok paling 50 sampai 100 tabung per hari," ujarnya.

Menurut Rudi, selain kendala regenerasi perajin, kendala lain yang dihadapi Sinar Mutiara yakni dalam menembus pasar atau turnamen-turnamen internasional.

"Turnamen-turnamen internasional biasanya sudah dikuasai satu merk. Kemudian secara kualitas juga ada perbedaan. Yang kelas internasional bahan baku dari bulu angsa, kalau kami masih bulu mentok karena susah untuk nyari bulu angsa," ujarnya.

2007