Jakarta, Gatra.com-Pengelolaan sampah di Indonesia perlu dipacu, mengingat volume sampah yang dihasilkan masyarakat di kota besar meningkat pesat setiap harinya. Hal ini menjadi masalah bagi sektor lingkungan hidup.
“Kegiatan pengelolaan sampah untuk kota besar seperti Jakarta sudah dalam kondisi darurat. Apalagi Jakarta tidak memiliki TPA," ujar Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Ir. Sri Bebassari, M.Si melalui rilis yang diterima Gatra.com, Sabtu (23/11).
Menurutnya, penanganan masalah sampah berkaitan erat dengan persoalan lingkungan hidup. "Apabila kondisi lingkungan bersih dan sehat maka masyarakat akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Jika masyarakat sehat maka anggaran untuk sektor kesehatan juga menjadi berkurang,"katanya.
Seperti diketahui, sektor kesehatan merupakan salah satu pos pengeluaran terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah.
Berbagai upaya ditempuh untuk menekan pengeluaran di sektor kesehatan, salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Oleh karena itu, jasa pengelolaan sampah merupakan suatu investasi yang harus diterapkan.
"Lihat saja mengapa kita mau membayar biaya yang cukup mahal untuk menginap di hotel? Salah satunya adalah kondisinya kamar dan toiletnya yang bagus dan nyaman," paparnya.
Sementara itu, sejumlah pihak menyebut selain sebagai investasi, pengelolaan sampah juga harus dilihat sebagai suatu kedaruratan. Hal itu mengacu dari problem sampah di kota Bandung dan tertutupnya permukaan kali di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Begitu juga di Jakarta dimana sampah masih menjadi penyebab utama masalah banjir.
Sri juga menyatakan kalau biaya untuk penanganan masalah sampah cukup tinggi dan ini juga berlaku di negara maju dalam menerapkan pengelolaan sampah. Perhitungan dana yang dibutuhkan bergantung pada volume sampah yang akan diolah dan teknologi yang diterapkan.
Untuk mengatasi tingginya biaya pengelolaan sampah, dia merujuk kebijakan yang dilakukan negara-negara seperti Singapura dan Jepang, dimana warganya membayar iuran untuk pengelolaan sampah.
“Di Singapura, satu rumah tangga membayar sekitar 200 ribu rupiah setiap bulan, maka tidak heran sampah bisa dikelola dengan sangat baik. hal ini juga bisa diterapkan di kota-kota besar di Indonesia," kata Sri.
Sri Bebassari juga mengingatkan kalau masalah pengelolaan sampah harus ditangani oleh pihak yang berkompeten dengan sampah sehingga hasilnya memuaskan.
“Jangan sampai ada pihak yang baru memiliki sedikit pengetahuan soal sampah tapi sudah bicara seolah-olah sangat paham soal sampah. Masalah ini harus ditangani oleh pihak yang sangat kompeten karena soal sampah itu cukup rumit," jelasnya.
Menurut wanita yang sudah puluhan tahun bergelut dengan masalah sampah, keberhasilan penanganan masalah sampah juga akan berdampak positif bagi sektor lainnya.
Adapun efek yang ditimbulkan adalah hasil pengelolaan sampah itu bisa dijadikan bahan bakar bagi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA) dan kompos untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.
“Jadi, benefit yang ditimbulkan dari pengelolaan limbah sampah juga bisa dirasakan sektor lainnya," tuturnya.
PLTSA sendiri dinilai cocok untuk diterapkan di Indonesia sebagai salah satu alternatif sumber energi. Sri sendiri mengaku menjadi salah satu tim dalam pembuatan feasibility study penerapan PLTSA.
Pemerintah sendiri saat ini terus berupaya mencari sumber energi terbarukan guna menjadi alternatif dari penggunaan sumber energi yang selama ini sebagian besar berasal dari minyak bumi. Kemunculan sumber energi baru bisa mengatasi ketergantungan Indonesia atas impor minyak bumi yang masih tinggi.
Jika menilik masalah upaya minimalisasi ketergantungan pada minyak bumi, pemerintah melalui PLN mempersiapkan diri mencapai bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Dengan kondisi di atas maka saat ini merupakan masa transisi Indonesia menghadirkan green energy kehidupan masa depan bersama. Selain itu jika EBT yang menggunakan sampah ini digunakan maka sekaligus dapat menyelesaikan persoalan sampah tersebut.
Saat ini PLN gencar melakukan kampanye yang disebut EcoMoving yaitu perubahan gaya hidup dalam penggunaan alat transportasi salah satunya mendorong masyarakat menggunakan transportasi masal yang menggunakan green energy seperti MRT (Mass Rapid Transport), KRL (Kereta Listrik), LRT (Light Rail Transit), bus listrik atau menggunakan kendaraan yang berbahan bakar green energy seperti mobil listrik dan sepeda listrik.