Home Milenial Dialog Agama & Psikologi tentang Suara Hati Wanita Pria

Dialog Agama & Psikologi tentang Suara Hati Wanita Pria

Situbondo, Gatra.com -- Keberadaan waria kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat lantaran dianggap melanggar norma sosial. Anggapan itu tak jarang berujung pada perilaku diskriminatif terhadap waria.

Akibat perlakuan diskriminatif tersebut, waria seperti tersisih dalam kehidupan bermasyarakat dan hak-hak kewarganegaraannya tidak terpenuhi.

Wakil pengasuh bidang pengembangan keilmuan Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, KH Afifuddin Muhajir tidak sepakat jika ada perlakuan diskriminatif terhadap waria. Sebab, perilaku waria dinilainya tidak bisa diubah dengan cara kekerasan.

"Perilaku itu tidak bisa diubah dengan menggunakan kekerasan. Ya harus pencerahan seperti menggugah hati nuraninya (waria)," kata Kiai Afif saat disambangi di kediamannya di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo Kamis (4/11).

Menurut Kiai Afif, waria dalam Islam disebut almuhonnisatu mina rijali, yang berarti seorang laki-laki berperilaku atau berlagak layaknya perempuan.

"Orang-orang seperti itu ada dua macam, ada yang alami, artinya tidak dibuat-buat. Ada yang tidak alami, yakni dibuat-buat. Kalau dibuat-buat yakni tidak alami, maka itu hukumnya haram," jelas kiai yang juga sering dipanggil Kiai Khofi ini.

Lebih lanjut, Kiai Afif menjelaskan bahwa dalam hadis dikatakan laanal almuhonnasina min arrijali (Nabi SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan).

"Tapi kalau alami tidak ada masalah, karena memang sudah adanya seperti itu. Tapi harus berusaha untuk mengubah dari perilaku seperti itu sehingga menjadi perilaku yang normal," ujarnya.

Berbeda dengan waria, dalam Islam juga terdapat istilah al khuntsa atau banci. Disebutkan dalam Quran bahwa Kholaqo al zaujaini ad zakara waa al unsha (Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan [surat An Najm, ayat 45]). Dari ayat itu, Kiai Afif menilai banci pada hakikatnya tidak ada.

"Apa yang disebut banci sesungguhnya dia adalah laki-laki yang tidak jelas kelaki-lakiannya, atau dia sesungguhnya perempuan yang tidak jelas keperempuanannya," terang Rais Syuriyah PBNU ini.

Untuk menentukan apakah orang tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, tambah Kiai Afif, maka yang menjadi patokan adalah alat kelamin dalam alias rahim atau testis. "Kalau didalamnya ada rahim, meskipun diluarnya ada dua kelamin berarti dia perempuan," paparnya.

Namun demikian, menurut Kiai Afif, orang yang memiliki orientasi seksual berbeda wajib berusaha agar dirinya normal. Perkara mereka kemudian tidak berhasil, itu merupakan kehendak Allah SWT.

"Hanya wajib berusaha, perkara berhasil, tidak berhasil itu bukan urusannya, hanya wajib berusaha untuk menormalkan dirinya. Tapi pihak lain wajib menghormati (orientasi seksualnya)," pungkas Kiai Afif.

Dari penjelasan di atas, terang bahwa Islam memandang orientasi seksual manusia hanya terbatas pada sesama lawan jenis atau heteroseksual.

Dosen Psikologi Gender Universitas Surabaya, Khanis Suvianita menjelaskan, Sigmund Freud, seorang pendiri aliran psikoanalisis, mengatakan semua manusia memiliki potensi biseksual.

“Artinya manusia berpotensi untuk bisa menjadi apa, yang perempuan bisa dengan perempuan dan lelaki. Dan lelaki bisa dengan lelaki dan perempuan. Itu potensi bawaan, dia bilang gitu,” katanya.

Akan tetapi sosiokultur masyarakat kadung memandang orientasi seksual yang normal itu adalah penyuka sesama lawan jenis. Sehingga anggapan di luar itu merupakan perilaku abnormal.

Pandangan sosiokultur tersebut, menurut Aktifis GaYa Nusantara Surabaya ini, menyeret waria untuk menjalani hidupnya sesuai dengan norma di masyarakat. Padahal, menjadi waria itu adalah bentuk pemaknaan dirinya terhadap keunikan tubuhnya.

“Tetapikan dia merasa ini hal yang unik dalam tubuhnya. Dari kecil, tumbuh besar sampai tua pun mereka tetap merasakan (keunikan) itu,” tuturnya.

Kondisi demikian dipandang oleh orang lain sebagai pengaruh lingkungan seperti sering bergaul dengan waria. “Sebenarnya tidak juga (anggapan waria dipengaruhi lingkungan). Karena dunia itu, menganggap laki-laki itu harus maskulin. Maka laki-laki kecil pun ada yang menutup-menutup dirinya. Padahal kalau kita ngobrol sama teman-teman waria rata-rata mereka dari kecil, di bawah umur sepuluh tahun, mereka sudah tau siapa mereka.”

Khanis menambahkan, sampai sekarang sebenarnya tidak ada satu penjelasan atau kesepakatan mengapa orang punya orientasi heteroseksual, orientasi homo seksual, dan orentasi biseksual.

Namun begitu, dalam pandangan hak asasi manusia, ilmu pengetahuan medical dan lain sebagainya, al unsha atau orang yang interseks bebas untuk mengekspresikan gendernya. Dengan kata lain, ia mendapat pengakuan atas pilihan hidupnya hidupnya.

Khanis berpendapat bahwa waria sebagai fakta sosial, yang sejak dahulu sampai saat ini tetap ada, secara tidak lansung meruntuhkan kategori biner antara laki-laki dan perempuan. “Maksudnya, kategori biner laki-laki dan perempuan itu ditabrak oleh kehadiran waria, kategori (biner) itu menjadi tidak lagi adikuat,” ucapnya.

Selain itu, ia berharap agar pengetahuan tentang keberagaman gender dan seksualitas harus mulai di ajarkan dengan jujur dan tulus kepada masyarakat dan anak didik di sekolah untuk melihat fakta-fakta sosial tersebut.

“Tetapi bukan kemudian hanya melihat mereka sebagai kategori yang bermasalah saja. Sebab stigma diskriminalisasi dan kekerasan itu tidak akan selesai, kemudian ruang waria untuk bekerja, tumbuh sebagai warga negara sebagaimana umumnya juga akan menjadi sempit,” pungkasnya.

858