Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Agus Melaz mengatakan, bergulirnya wacana amandemen konstitusi merupakan imbas dari ketiadaan perangkat kerja evaluasi demokrasi dan lembaga. Menurutnya, hasil Pemilu 2019 tidak pernah dibaca secara utuh dalam tahapan evaluasi. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan pencapaian tujuan pemilu.
"Ini bisa dilihat dari situasi yang sekarang, makanya muncul konstitusi amandemen yang lain. Seharusnya, kalau saya melihat beberapa tujuan dari keserentakan pemilu, yang harus kita hadapi adalah situasi presidensial koalisi sebagai situasi politik yang eksis. Tidak hanya politik, tetapi juga konstitusional," ujarnya dalam diskusi "Refleksi 20 Tahun Konstitusi", di KoDe Inisiatif, Jakarta, Kamis (21/11).
Menurutnya, ketiadaan mekanisme evaluasi membuat pihak yang terlibat dalam Pemilu malah menyangkal fakta. Pihak ini justru berupaya mencari solusi. Padahal, sebenarnya belum tentu jadi masalah.
Agus mencontohkan, persoalan dalam Pilkada langsung dan tidak langsung semestinya bukan masalah utama yang harus dibahas. Selain itu, masalah ini juga muncul akibat ketidaksamaan persepsi atau perspektif. Akhirnya memunculkan pertanyaan terkait kelanjutan pemilu serentak.
"Ini yang jadi soal, makanya kita tidak pernah bisa cek, atau konfirmasi apa tujuan pemilu serentak sebagaimana putusan MK, memperkuat sistem pemerintahan presidensialisme, meningkatkan efektivitas kinerja Parlemen, mencerdaskan kehidupan warga negara dalam membangun blok politik, termasuk efisiensi," katanya.
Agus mengatakan, akibat tidak memiliki catatan evaluasi, mengakibatkan penurunan beberapa tren politik. Ia mengatakan, walaupun formalitas demokrasi dijalankan, tetapi dari sisi kualitas kebebasan sipil mengalami penurunan.
Selain itu, Agus menyoroti, dalam dua dekade konstitusi masih belum ada titik temu. Khususnya melibatkan ahli hukum tata negara guna melihat konteks sistem pemerintahan ideal yang diatur konstitusi, terutama hasil amandemen.