Yogyakarta, Gatra.com - Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, di gedung eks Bioskop Indra di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, menjadi proyek paling berisiko di DIY 2018 versi Indonesia Corruption Watch.
Proyek senilai total Rp62 miliar ini dibangun di lahan sengketa dan bagian paling besarnya ditawarkan melalui tender cepat yang dinilai kurang tepat. Proyek dibayangi praktik monopoli dan informasinya dibatasi untuk publik.
Pemda DIY, melalui Dinas Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral, menyatakan proyek tempat relokasi di eks Bioskop Indra bagian dari revitalisasi Malioboro. Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUP-ESDM DIY Arief Azazie Zain menjelaskan bahwa area Jalan Malioboro saat ini sudah amat padat.
Untuk itu, kawasan di sekitar Malioboro akan dimanfaatkan secara fungsional, terutama untuk lokasi parkir dan PKL. Lahan eks Indra pun dipilih untuk tempat relokasi PKL. Dengan begitu, Malioboro dapat menjadi jalan khusus pedestrian dan mengembalikan nilainya sebagai bagian sumbu filosofis DIY. “Proyek ini untuk mengurangi beban Malioboro,” ujar Arief, saat ditemui di kantornya, Senin (12/8).
Pembangunan proyek di sentra PKL baru ini terbagi dalam tiga tahap proyek, yakni tahap I bangunan utama, tahap II berupa bangunan pendukung, dan tahap III penataan lanskap. Sesuai data di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, pengadaan fisik gedung utama merupakan proyek tahap I dengan nilai terbesar yakni Rp43,9 miliar.
Tender dibuat pada 19 Februari 2018. Dengan hanya satu peserta tender, proyek ini dimenangi PT Matra Karya yang harus melaksanakan pembangunan mulai 8 Maret 2018. Proyek berlangsung selama 270 hari atau sembilan bulan, dan berakhir pada 3 Desember 2018.
Nilai pagu paket itu Rp 44,055 miliar, sedangkan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 44,054 miliar. Melalui metode tender cepat, PT Matra Karya dinyatakan sebagai satu-satunya penawar proyek sehingga memenangi proyek ini senilai Rp 43,994 miliar. Dengan nilai tersebut, efisiensi proyek dari dana keistimewaan dalam APBD DIY ini tak sampai Rp60 juta.
Baca Juga: Sentra PKL Malioboro: Proyek Berisiko di Lahan Sengketa
Merujuk opentender.net ICW, Matra Karya mengerjakan banyak proyek di DIY. Sejak 2014 mereka mengerjakan dua paket proyek senilai Rp5,9 miliar, kemudian empat paket proyek Rp10,47 miliar pada 2015, enam proyek Rp39,8 miliar di 2016. Tahun 2017 mereka dapat delapan proyek Rp69,3 miliar dan pada 2018 ada 5 proyek senilai Rp109 miliar.
Di data Kementerian Hukum dan HAM, PT Matra Karya beralamat di Jalan Kaliurang KM.7 Nomor 38 RT05/35 Ngaglik, Sleman. Saat ditelusuri ke sejumlah lokasi yang kemungkinan alamat tersebut, kantor perusahaan itu tak ditemukan.
Di laman LPSE DIY, perusahaan ini disebut berkantor di Jl. Palagan Tentara Pelajar RT/RW 005/035 Jongkang, Sariharjo, Sleman. Saat alamat ini disambangi, hanya ada plang papan nama ‘MK’ di sebuah rumah. Perusahaan itu disebut warga sudah pindah setahun lalu dan meninggalkan plang nama itu.
PT Matra Karya juga disebut berkantor di Jalan Panembahan di kawasan dalam benteng Keraton Yogyakarta. Plang nama perusahaan itu ditemukan tak jauh dari jalan itu, tepatnya di Jalan Mangunnegaran Kidul. Namun, pada medio September 2019, kantor itu sudah kosong. Warga sekitar menyebut Matra Karya sudah pindah ke Bantul, sebulan lewat.
Adapun proyek sentra PKL tahap II mencakup pembangunan tiga bangunan lain di lahan eks Bioskop Indra dengan nilai Rp14,5 miliar. Proyek ini memiliki pagu Rp15,146 miliar dan HPS Rp15,122 miliar. Sama seperti tahap I, proyek ini dibiayai dana keistimewaan dalam APBD DIY.
Tender dibuat pada 6 Juli. Dari 33 peserta lelang, pemenang tahap I PT Matra Karya juga ikut mendaftar di proyek ini, tapi tak ikut menawar harga. Hanya tiga kontraktor yang menawarkan harga. Dua perusahaan menawar proyek ini dengan nilai Rp12,5 miliar dan Rp14,4 miliar, tapi dinyatakan tak dapat melengkapi dokumen.
Adapun PT Ardi Tekindo Perkasa, yang menawar dengan harga tertinggi, yakni Rp14,5 miliar, menjadi pemenangnya. Mengacu data di LPSE, proyek dikerjakan selama 135 hari, 6 Agustus hingga 19 Desember 2018.
Di LPSE, PT Ardi Tekindo Perkasa tercatat beralamat di Jalan Gayungsari, Surabaya, Jawa Timur. Namun, sesuai data di opentender.net ICW, perusahaan itu kerap memenangi proyek di DIY. Selama 2013-2018, kontraktor ini mengerjakan 12 proyek di DIY dengan nilai tak kurang Rp175 miliar.
Baca Juga: Malioboro Tanpa Kendaraan, Warga Bebas Sepedaan
Tahap III proyek sentra PKL Malioboro berupa penataan lanskap. Tender proyek ini dibuat pada 30 April 2019. Dimulai pada 20 Juni 2019, proyek direncanakan berlangsung selama 150 hari atau harus kelarpada 16 November 2019. Namun hingga akhir Oktober 2019, tahap III proyek ini belum rampung.
Dengan pagu Rp3 miliar, dan HPS Rp2,996 miliar, proyek ini dibiayai APBD DIY. Dari 63 peserta tender, hanya satu perusahaan yang mengajukan penawaran, sehingga menjadi pemenang proyek ini, yakni CV Setiabudi Jaya Perkasa, dengan nilai Rp2,6 miliar.
Di LPSE DIY, CV ini disebut beralamat di Jalan Imogiri Timur, Wonokromo, Pleret, Bantul, DIY. Salah satu komanditer CV ini adalah pengusaha muda, Muhamad Lutfi Setiabudi. Lutfi juga tercatat sebagai Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, pemenang proyek tahap II.
Dari tiga tahap proyek sentra PKL Malioboro ini, Pemda DIY menganggarkan Rp44 miliar, Rp14,5 miliar, dan Rp2,6 miliar sehingga totalnya sekitar Rp62 miliar. Jumlah ini belum termasuk ‘tali asih’ pada PKL yang semula menempati area proyek senilai Rp18 miliar. Alhasil total anggaran yang digelontorkan untuk proyek sentra PKL Malioboro ini tak kurang Rp80 miliar.
Untuk mengetahui proses tender proyek itu, Gatra.com dan tim kolaborasi menghubungi Bhima Bhakti Nusantara, pemimpin PT Putra Bintang Abadi Group, yang turut menjadi peserta lelang proyek tahap II tempat relokasi PKL Malioboro meski tak mengajukan penawaran harga.
Menurut dia, banyak proyek kerap diumumkan secara bersamaan sehingga kontraktor tak bisa ikut sejumlah proyek meski nilainya menggiurkan. Apalagi kontraktor juga harus detail memenuhi syarat dengan mencantumkan berbagai kualifikasi seperti peralatan, modal, sumber daya manusia, dan pengalaman.
Bhima pernah diundang untuk ikut tender cepat proyek terminal VVIP Bandar Udara Adi Soetjipto pada 2018. Namun perusahaannya tak lolos karena input data tak lengkap. “Itu otomatis sistem. Kualifikasi muncul sendiri. Tujuannya bagus, tapi kalau bicara oknum itu tidak bagus,” ujarnya.
Menurut Bhima, baik lewat lelang cepat maupun tender biasa, proyek konstruksi rawan dimainkan. “Modusnya, menggunakan kekuasaan dan menekan, karena kedekatan dengan kepala dinas, ULP (Unit Layanan Pengadaan), atau orang berpengaruh yang minta proyek,” kata Bhima yang juga tak memungkiri adanya pemanfaatan koneksi bisnis dan politik atas praktik semacam itu.
Baca Juga: Malioboro Bebas Kendaraan, Sultan Minta Diisi Atraksi Seni
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mengingatkan bahwa pengadaan barang dan jasa, termasuk dalam proyek konstruksi punya peluang dimenangkan lewat persekongkolan. Praktik jamak ditempuh sejumlah perusahaan yang terafiliasi atau terhubung oleh para pengurus dan pemiliknya.
Kepala Kantor Wilayah IV KPPU Dendy Rakhmad Sutrisno menyebut ada larangan pelaku usaha bersekongkol memenangi tender yang mengakibatkan persaingan tidak sehat. “Afiliasi di antara peserta tender tak selalu salah tapi jadi trigger, pintu masuk, dan berpotensi munculnya persekongkolan,” ujar dia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lais Abid menyatakan proyek-proyek konstruksi besar berpotensi dimonopoli oleh segelintir pihak, termasuk jika sejumlah perusahaan pemenang proyek memiliki kaitan pemilik dan bermodal besar.
“Jika kontraktor lain sampai tidak bisa masuk ke suatu proyek, itu monopoli. Dampak buruknya, hak dan kesempatan perusahaan lain, terutama usaha kecil, hilang,” ujar Abid, di Yogyakarta, Jumat (25/10).
ICW mengakui, praktik sejumlah perusahaan terkait atau terafiliasi terutama karena kepemilikan dan atau kepemimpinan oleh orang yang sama memang belum tentu melanggar hukum, seperti ketika perusahaan-perusahaan itu mengikuti tahapan berbeda di satu proyek yang sama. “Makanya perlu ada aturan itu. Pedoman praktis harus dibikin. Aturannya harus lebih tegas dan praktis,” kata dia.
Gatra.com, bersama Kompas dan Harian Jogja yang berkolaborasi menelusuri proyek ini, juga telah berupaya mendapatkan dokumen pengadaan proyek tempat relokasi PKL di eks Bioskop Indra ke sejumlah pihak terkait proyek ini, terutama di Pemda DIY.
Langkah ini untuk mengetahui lebih gamblang perencanaan dan pengadaan hingga evaluasi proyek itu, beserta segenap pihak yang terlibat pembangunannya. Sayangnya, dokumen ini tak bisa diakses karena Pemda DIY berdalih memasukkan dokumen itu sebagai informasi rahasia yang dikecualikan untuk publik.
Mengenai hal ini, ICW menjelaskan informasi soal pengadaan barang dan jasa adalah informasi terbuka jika mengacu pada UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
“Selama 2010-2017, dari 44 putusan Komisi Informasi Pusat terkait keterbukaan dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa, tidak ada putusan yang menyatakan bahwa dokumen tersebut merupakan informasi yang dikecualikan atau tertutup bagi publik,” ujar Abid. (bersambung)