Palembang, Gatra.com – Sidang yang menjerat bupati Kabupaten Muara Enim non aktif digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Palembang, Kamis (20/11). Dalam sidang yang digelar pertama kalinya ini, dengan terdakwa Robi Okta Fahlevi.
Dalam sidang perdana yang dipimpin langsung Ketua PN Palembang kelas 1A Palembang, Bongbongan mengagendakan mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Budi Nugraha terhadap terdakwa Robi Okta Fahlevi.
Sama seperti terdakwa lainnya, terdakwa Robi Okta Fahlevi juga mendapatkan pengawalan ketat dari Brimob Polda Sumsel. Nampak, terdakwa menggunakan kemeja kotak-kotak dan bercelana panjang berwarna hitam dan sebelumnya juga menggunakan rompi orange KPK. Dia nampak fokus mendengarkan dakwaan atas dirinya. Sesekali saat dakwaan dibacakan, terdakwa Robi menoleh ke tim pengacarannya.
Dalam dakwaan setebal 35 halaman tersebut, sang kontraktor mengakui jika Bupati non aktif Ahmad Yani, pernah minta dibelikan mobil kepada dirinya. Adapun dua jenis kendaraan yang diminta kepada terdakwa ialah mobil pick up merk Tata Xenon HD single cabin berwarna putih dan satu unit mobil SUV Lexus berwarna hital yang diketahui bernopol B 2662 KS.
“Pemberian kendaraan ini sebagai realisasi komitmen fee proyek 15% dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Muara Enim, kepada pihak pemerintah daerah Muara Enim dan pihak terkait lainnya, kepada ASN atau penyelenggara negara, yakni Bupati Muara Enim, melalui A Elfin MZ Muchtar dan Muhammad Riza Umari, dengan maksud agar ASN tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu berdasarkan jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban kewenangan selaku Bupati Muara Enim,” ucap JPU KPK, Budi Nugraha.
Pemberian kedua kendaraan dinas tersebut berlangsung antara bulan Januari sampai dengan Agustus 2019. Pemberian kendaraan yang menjadi komitmen awal (mahar) atas realisasi fee 15% atas 16 pekerjaan paket proyek yang merupakan dana aspirasi kalangan dewan di dinas PUPR.
Hal ini juga bertentangan dengan kewajiban Bupati Ahmad Yani selaku kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah dan dalam UU nomor 28 tahun 199 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme.
“Terdakwa melakukan tindakan pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU tersebut atau diancam dalam pasal 13 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah, Jo pasal 64 ayay (1) KUHP,” ungkapnya.
Adapun kasus ini terkuak atas tindakan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK, awal September lalu. KPK mengamankan empat orang tersangka, yakni satu diantaranya ialah Bupati non aktif Muara Enim, Ahmad Yani, dan dua pegawai di Dinas PUPR dan satu orang rekanan yang menyanggupi atas kesepakatan dan komitmen fee atas 16 proyek yang bernilai 10-15% dari nilai proyek.