Home Milenial Nyai Isyaiah, Pembela Waria dari Situbondo

Nyai Isyaiah, Pembela Waria dari Situbondo

Situbondo, Gatra.com - Nyai Isyaiyah, adalah sosok nama yang disegani di Situbondo, Jawa Timur. Putri dari tokoh NU yang juga pahlawan nasional Kiai As'ad Syamsul Arifin ini dikenal dekat dan pembela kaum transgender alias waria di wilayah Situbondo. 

"Nyai itu punya prinsip tidak ingin dipaksa dan tidak ingin memaksa," kata Muhammad Dhofir saat ditemui pada awal November lalu, di rumahnya sekitar lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Agar orang tahu prinsip tersebut, 'dawuh' nyai itu kemudian dibuatkan stiker dan ditempel di mobil yang dulu sering digunakan nyai saat mengisi kegiatan-kegiatan lain di luar pesantren.

Apeng, panggilan akrab Muhammad Dhofir, dahulu pernah menjadi salah satu khadam kesayangan Nyai Isyaiyah. Ke mana pun Nyai pergi, hampir dipastikan Apeng bakal ikut mendampingi Nyai Sya', sapaan karib Nyai Isyaiyah.

Di mata masyarakat Situbondo, Jawa Timur, Nyai Sya' adalah salah satu sosok nama yang disegani. Sebab, dalam diri Nyai Sya', mengalir darah tokoh kiai kharismatik dari organisasi Nahdlatul Ulama, yakni Kiai As'ad Syamsul Arifin.

Kiai As'ad sendiri punya andil besar atas berdirinya organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Saat KH Hasyim Asy'ari berniat mendirikan NU, Kiai As'ad lah yang membawa tongkat dan tasbih sebagai simbol restu Kiai Kholil Bangkalan atas niat Kiai Hasyim kala itu.

Selain sebagai pengasuh ke dua Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, dahulu Kiai As'ad juga terlibat mengusir penjajah. Atas jasa-jasanya, Kiai As'ad dinobatkan menjadi pahlawan nasional pada tahun 2016 lalu.

Terlahir dari sosok ulama besar NU itu, tak membuat Nyai Sya' berjarak dengan kehidupan masyarakat. Aktifitas Nyai Sya' juga tampak seperti masyarakat pada umumnya.

Menurut Apeng, Nyai Sya' adalah sosok yang murah hati pada sesama, termasuk kepada orang yang memiliki orientasi seksual berbeda, terkhusus kepada waria.

Kepedulian putri dari pasangan almarhum Kiai As'ad dan almarhumah Nyai Zubaidiyah terhadap waria ini merupakan langkah yang perlu diapresiasi di tengah perlakuan tidak manusiawi yang kerap didapat waria.

Kata Apeng, Nyai Sya' tidak setuju dengan tindakan Satpol PP yang acap kali merazia waria di tempat mereka biasa mangkal, apalagi dengan cara-cara yang anarkistis.

Jika Nyai Sya' tahu kalau waria dirazia Satpol PP dengan cara-cara demikian, Apeng menyebut, Nyai Sya' tak segan bersikap tegas dan meminta Satpol PP melepas para waria yang diamankan.

"Pernah waria dirazia Satpol PP, tapi sama ibu nyai di telpon supaya dilepaskan. Ya dilepaskan (warianya)," cerita Apeng, mengingat keberpihakan Nyai Sya' pada orang yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Nyai Sya' sendiri berpendapat bahwa perlakuan Satpol PP terhadap waria selama ini, bukan merupakan tindakan yang patut dilakukan kepada sesama manusia.

"(Kalau merazia) Marah langsung ngamuk-ngamuk, marah-marah. saya kasih tahu, 'kamu enggak usah gitu, ini sama-sama manusia, jangan marah-marah, jangan ngamuk-ngamuk'," kata Nyai Sya'.

"Mending disuruh pulang saja, dipegang, tangannya dibawa, enggak usah ditarik-tarik. Kadang-kadang kan (waria) ditarik, kadang-kadang ditempeleng, kadang-kadang didorong-dorong, kan kasihan," lanjut Nyai Sya'.

Meski demikian, Nyai Sya' juga tidak sepakat dengan cara waria yang mangkal di tempat-tempat tertentu dengan cara minum alkohol untuk menarik minat pelanggan.

Akan tetapi, seperti yang disampaikan Apeng, Nyai Sya' memiliki prinsip tidak akan memaksa dan tidak mau dipaksa. Nyai Sya' memang memiliki keberpihakan terhadap orang-orang terpinggirkan, seperti para waria di Situbondo. Namun begitu, nyai juga berharap besar agar para waria di Kota Surga Burung itu meninggalkan pekerjaannya.

Kepedulian Nyai Sya' terhadap waria, membuat dirinya sering berkunjung ke tempat-tempat mangkal waria di Situbondo, salah satunya di Carpetan. Biasanya pada pukul 22.00 WIB atau 23.00 WIB, nyai berkumpul dengan waria-waria di sana.

"Kalau saya (berangkat) selesai maghrib, kadang-kadang habis isya saya berangkat ke sana, sudah banyak di situ (Waria di Carpetan) dah. Tapi agak malam, jam 10 (malam), jam 11 (malam) sudah di sana kumpul-kumpul ada saya," ujar Nyai Sya'.

Saat berkumpul dengan waria di Carpetan itu, Nyai Sya' terkadang memberi sejumlah uang kepada waria agar tidak menjajakan diri malam itu dan pulang ke rumah masing-masing. "Kasih seribu, kasih lima ribu, uang dulu, sampai dengan saya, ‘(kepada seorang waria) ini 100 ribu dikumpulin (lalu bagi dengan waria lain), temannya (waria) bawa pulang sana (dari tempat mangkal malam itu)’,” lanjutnya.

Tidak hanya itu, Nyai Sya' juga kerap mengajak waria ke rumahnya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya.

Kemudian, kalau ada pengajian dalam rangka memperingati hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi di Pesantren Sukorejo, nyai juga mengundang waria dengan tetap membiarkan mereka berpakaian layaknya waria pada umumnya.

"Sampai ada acara bulan Maulid, sampai ada acara Haul itu dengan saya diundang, di situ datang ke pengajian sini (pesantren), tapi ya tetap itu, tetap pakai baju perempuan, tetap pakai kerudung, tetap pakai sandal tinggi," jelas Nyai Sya'.

Kedekatan Nyai Sya’ dengan waria bermula pada tahun 2000 an. Kini, Nyai Sya’ tak lagi berkunjung ke tempat-tempat waria biasa mangkal di Situbondo sejak tiga tahun belakangan. Tak ada alasan yang jelas mengapa Nyai Sya' tak lagi berkumpul dengan waria di Kota Surga Burung itu.

Gatra.com mencoba menggali lebih dalam lika-liku hidup waria berikut sosok Nyai Sya' kepada para waria di Situbondo. Namun, beberapa waria yang ditemui enggan buka suara lantaran khawatir setelah dimediakan, mereka dirazia.

4384