Home Hukum Dari Yogya, 50 Tokoh Minta Negara Tegas Lawan Intoleransi

Dari Yogya, 50 Tokoh Minta Negara Tegas Lawan Intoleransi

Sleman, Gatra.com – Sekitar 50 tokoh agama dan aktivis lintas iman dari Sabang sampai Merauke meminta negara, khususnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini, bersikap tegas melawan intoleransi. Intoleransi agama akan menghancurkan identitas bangsa.

Hal ini disampaikan di ‘Forum Dialog dan Kerjasama Lintas Iman untuk Indonesia Lebih Baik, Damai, dan Toleran Secara Kritis-Kontruktif’ sat jumpa pers di Hotel Merapi-Merbabu, Depok, Sleman, Rabu (20/11).

Dialog yang digelar Institut Dialog Antariman di Indoneisia (DIAN)-Interfidei ini berlangsung dua hari sejak Selasa (19/11). Kegiatan ini dilatarbelakangi keprihatinan pelbagai kasus intoleransi, maraknya kecenderungan beragama secara konservatif, dan radikalisme beragama yang dipahami dan dipraktikkan secara keliru, serta sejumlah kasus ekstrimisme-terorisme di berbagai daerah.

Mewakili peserta, lima tokoh tampil sebagai pembicara yaitu Romo Franz Magnis Suseno, pendiri Institut DIAN Daniel Dhakidae, anggota Parampara Praja (penasihat Gubernur DIY) Amin Abdullah, Direktur Interfidei Elga Sarapung, dan Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin Rafika.

“Indonesia sebetulnya negara dengan masyarakat yang toleran. Namun pengalaman di tahun-tahun terakhir, terutama kasus intoleransi yang bertambah, jika terus biarkan akan merusak sikap toleransi bangsa ini,” jelas Magnis.

Ia melihat selama ini alat negara seperti membiarkan massa beringas melakukan penutupan tempat ibadah dan melarang acara keagamaan atau diskusi. Ini menjadi sinyal buruk yang mengancam hukum, ideologi, dan identitas bangsa.

Magnis menegaskan identitas bangsa yang tertuang di Pancasila telah menjadi kesepakatan dan acuan bangsa untuk saling menerima tanpa membedakan keyakinan, etnik, dan budaya. Untuk itu, identitas bangsa yang beragam itu harus dilindungi. Pancasila memberi jaminan ke semua identitas itu untuk eksis.

“Menghadapi intoleransi, negara dan aparat cenderung bersikap lunak. Pemerintah Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan itu terjadi. Negara harus bersikap tegas," katanya.

Magnis menyarankan, aparat seharusnya melindungi penyelenggaraan kegiatan agama dan menantang sebagian orang yang melarang acara agama itu melalui ketentuan hukum. Langkah itu diperlukan untuk mengetahui sejauh mana larangan itu sesuai hukum atau UUD.

Direktur Interfidei Elga Sarapung melihat kasus intoleransi juga terkait dengan kondisi politik suatu daerah. Ia lantas mencontohkan kasus pencabutan izin mendirikan bangunan di sebuah gereja di Sedayu, Bantul.

“Peran partai politik sangat penting. Di kasus Sedayu, partai politik tidak bersikap tegas karena melegalkan kebijakan Bupati Bantul (mencabut IMB) agar bisa memenangi suara di pemilihan berikutnya,” katanya.

Elga melihat, selain sikap tegas pemerintah, partai politik juga harus terlibat menyelesaikan intoleransi di daerah.

Dari sisi kebudayaan, Amin Abdullah melihat maraknya sikap intolerasi karena masyarakat toleran justru pasif. Ia mencontohkan masyarakat Jawa yang sebenarnya sangat toleran dan ‘easy going’ terhadap kegiatan di sekitarnya.

“Namun kehadiran media sosial menghadirkan ketegasan narasi terhadap sebuah kegiatan yang dinilai tidak sesuai keinginan individu atau kelompok. Kelompok toleran tidak bisa lagi berkata easy going di media sosial. Dia harus ikut bersikap tegas,” ujarnya.

Tindakan itu terkadang tidak disadari. Akibatnya, sikap intoleransi yang sebelumnya hanya terjadi di dunia maya terbawa ke lingkungan nyata.

 

1440